14. Tiga Garis Perangko

801 144 19
                                    

Bagai tempat pulang, alasan ku akan tetap sama untuk kembali

Kai bersidekap menyimpan tangan di dada melihat kelakuan Wendy. Gadis itu tak henti-hentinya mendumal, saat Sehun masih belum juga sampai di kafe tempat mereka janjian untuk bertemu.

"Wen, kenapa yang punya tugas Lo yang kocar-kacir gue sama Sehun?"
"Kalian kan babu gue, lupa?"
"Iyah sih, bener."

Meski tak keberatan dengan pernyataan Wendy dan wajah datarnya, Kai masih berdiam diri dengan raut bingung penuh pertanyaan.

"Wen, kenapa harus nunggu Sehun? Padahal gue bisa langsung translate."
"Gak! Tingkat akurasi translate Lo 30% gue bunuh diri kalau cuman Lo yang bantu."
"Emang Sehun nyampe 100?"
"Enggak juga,"
"Terus berapa?"
"70% makanya kalian harus digabung, ngerjainnya bareng, biar translatenya gak ngawur."
"Kalau akurasi translate Lo?"
"100 dong jelas,"
"Nah gimana kalau Lo yang translate gue yang cari referensi nanti Sehun yang ngetik."
"Gak bisa. Gue lagi gak mood ngetranslate."

Rasa bingung Kai sedikit berkurang, penasaran yang membendung kini seolah lunas dan tak ingin ia perpanjang lagi.

"Kayaknya Lo gak bisa deh hidup tanpa gue atau Sehun,"
"Ha?"
"Lo itu ketergantungan banget sama gue juga Sehun."
"Mimpi anjir."
"Em, Sehun sih, Lo lebih ketergantungan sama dia, hati-hati entar kalau Sehun punya pacar Lo patah hati."
"Manusia buluk itu gak akan pernah punya pacar. Dia lapuk."
"Ehhhhh???? Sembarangan. Lo gak tahu banyak banget yang suka sama Sehun?"
"Tapi Sehun gak ngelirik mereka."
"Karena Sehun emang baik sama semua orang, jadi dia gak nyadar."
"Sekali pun kalian berdua punya pacar, hidup gue bakal fine-fine aja dan kalian bakal tetep jadi babu gue."

Seperti tak setuju dengan argumen Wendy, Kai ingin mendebatnya meski tahu kemungkinan menang hanya nol koma sekian persen.

"Gimana kalau Lo cari babu baru?"
"Ha? Apalagi sih Lo?"
"Kenapa, Lo gak berani?"
"Yah buat apaan? Kalian masih sangat bermanfaat kok."
"Sialan. Maksud gue, sebagai cadangan kalau antara gue sama Sehun lagi gak bisa bantuin Lo."
"Heran gue, Lo perhatian sampe segitunya."
"Tetep harus ada yang bantuin Lo kan,"
"Gak gak, gue gak perlu."
"Wen, jangan-jangan selama ini Lo gak punya pacar karena Lo gak laku lagi."
"Sembarangan Lo!"
"Ohhhh atau Lo malu ngedeketin cowok?"
"Makin sembarang Lo!"
"Buktiin coba kalau emang enggak."
"Lo mau bukti kayak gimana?"
"Tuh, mas-mas yang di sana, Lo bisa dapetin nomor hapenya baru gue percaya Lo adalah cewek laku dan gak butuh another babu."
"Gampang,"
"Oke."

Kai tentu tak benar-benar serius dengan ucapannya, tapi melihat Wendy seperti terpancing, ia jadi enggan mengurungkan tantangan. Entah kenapa ada kesenangan terpendam saat membuat Wendy melakukan hal yang menurutnya mustahil.

Seperti yang Wendy katakan, Kai memang khawatir jika suatu hari nanti Wendy akan 'kehilangan' dua sahabatnya ini, karena mau bagaimana pun masing-masing dari mereka akan menjalani hidup dengan pasangan atau bisa saja Wendy akan tetap memiliki jika salah satu dari mereka menjadi pacar bahkan suaminya, jelas bukan Kai. Sehun lebih mungkin mengisi posisi itu, tapi bukan kah sebuah hubungan romantis memerlukan hal bernama cinta?

Wendy berdiri, dia bersiap pergi dari kursi menuju seorang pelayan yang Kai tunjuk sebagai objek tantangan.

"Gue, tunggu di sini."

Mata Wendy melirik malas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Wendy melirik malas.

Kai benar-benar membuatnya tak habis pikir, begitu senangkah lelaki itu mendeklarasikan hanya Wendy satu-satunya manusia tak laku di antara mereka bertiga? Keterlaluan, lihat saja, akan Wendy balas.

Seorang pelayan duduk di depan tempat kasir sudah setengah jam, tak sengaja Wendy perhatikan karena terlihat oleh mata. Jantung Wendy berdegup cepat, ada sedikit kekhawatiran walau coba ia sembunyikan.

"Mas," Kata gadis itu, sudah saling berhadapan dengan pria yang Kai maksud.

"Ya Ka? Ada yang bisa saya bantu?"
"Boleh minta nomor Mas, gak?"
"Untuk?"
"Mas... tolong jangan kegeeran ya, saya cuman ngelakuin apa yang temen saya bilang. Tuh, orangnya."

Searah dengan jari telunjuk Wendy pada Kai, wajah lelaki itu juga melihat pada hal yang sama.

"Saya gak suka sama Mas kok, cuman saya butuh nomor Mas, biar temen saya diem."

Lelaki di hadapan Wendy terdiam, menatapnya.

Lelaki di hadapan Wendy terdiam, menatapnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas?"

Tanpa menyahut panggilan Wendy, lelaki itu langsung mengambil secarik kertas, menuliskan nomor telponnya.

"Ini, Ka."
"Makasih banget Mas, kapan-kapan saya traktir ya."
"Gak usah Ka,"
"Em, kenapa?"
"Kaka juga bukan tipe saya, kok."

Euforia yang baru sekian detik dirasa, tiba-tiba saja seperti terbanting ke dasar lautan. Wendy, cukup terkejut dengan reaksi kontradiktif lelaki yang sedang tersenyum manis di hadapannya ini.

 Wendy, cukup terkejut dengan reaksi kontradiktif lelaki yang sedang tersenyum manis di hadapannya ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

to be continued ...

FLAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang