Bagian 46

1.6K 72 0
                                    

Upacara pelepasan untuk siswa yang prakerin sudah selesai, beberapa siswa mungkin langsung pergi menuju tempat dimana mereka ditugaskan untuk prakerin dan beberapa lagi mungkin masih menunggu waktu keberangkatannya seperti Dara.

Dara sedang menunggu waktu keberangkatnnya nanti sore karena Dara prakerin di luar kota, ia prakerin di Bandung sama seperti Rifaul dulu. Dara hanya duduk di tribun bagian atas sembari mengamati setiap orang yang berlalu lalang atau mengamati siswa putra kelas 1 dan 2 yang tengah bermain basket di lapangan. Dara terus mengamati orang-orang di sekitarnya, hingga kemudian seseorang berlari kearahnya dan naik keatas tribun. Dara tersenyum simpul membalas senyuman dari orang itu.

“Belum berangkat kak?” Siapa lagi yang bertanya jika bukan Aldian. Dara menggeleng.

“Ntar sore.” Jawabnya.

“Kak, Al mau ngomong boleh gak?”

“Ngomong ya tinggal ngomong.”

“Tapi kakak jangan tersinggung ya?”

“Iya apa?”

“Kakak deket ya sama Alrendy?” Dara mengangguk.

“Kita temenan, asik kok orangnya.”

“Kak, aku mohon kakak jangan terlalu pakai hati sama dia.”

“Hah?”

“Aku cuma mau bilang, meskipun dia sahabat aku, aku gak mau lihat kakak sama dia, apalagi kalo kakak sampai naruh hati buat dia. Temenan boleh kak, tapi kalo sampe libatin hati jangan ya kak?” Dara mengernyit bingung dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Aldian. “Aku cuma gak mau kakak sakit hati gara-gara dia, nanti aku bingung gimana cara ngasih pelajaran sama dia. Mau aku hajar dia kan teman aku, tapi kalo di biarin gak akan mikir.”

“Lo kenapa sih Al? Kok jadi posesif gini?” Dara terkekeh mendengar semua kalimat Aldian.

“Kak, aku serius. Aku lebih setuju kakak nungguin kak Erlangga dari pada hati kakak harus jatuh sama orang kayak Alrendy. Tolong ya kak?” Mohon Aldian sembari menatap Dara penuh harap. Dara masih belum mengerti maksud Aldian itu apa, Dara hanya menganggukan kepalanya saja. “Kakak jaga diri baik-baik disana ya, jangan kecapean, jangan lupa makan dan jangan lupa ibadah oke?”

“Iya Al.” Hati Dara menghangat, ia seperti menemukan sosok Erlangga dalam diri Aldian. Ah orang itu, Dara merindukannya.

“Aku lanjut main lagi ya kak? Inget kata-kata aku!” Setelah mengingatkan Dara tentang kalimatnya tadi, Aldian turun dari tribun dan kembali bergabung dengan teman-temannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.45 WIB, Dara baru saja selesai mengemas barang-barang yang akan ia bawa ke Bandung untuk tiga bulan kedepan.

“Ci, jangan lupa kabarin ya. Akew bakal kangen cici tiap hari.” Ucap Dzikri sembari memperhatikan sang kakak yang sedang membereskan barangnya.

“Apa sih lebay amat?” Dara tertawa kemudian mengusak rambut sang adik dengan gemas. “Jangan nakal lo, kerjain PR nya! Jangan minta ajarin Aldian mulu kalo gak ada hasilnya, kasian.”

“Iya kak iya.”

“Al kalo ni anak susah di bilangin, tonjok ajalah.” Ucap Dara pada Aldian. Aldian terkekeh.

Aldian dan Dara sekarang menjadi teman dekat, bukan hanya itu saja, Aldian juga sering belajar bersama Dzikri, membahas pelajaran yang sama jika mengingat mereka berdua itu satu jurusan.

“Ya udah gue mau berangkat, lo berdua keluar dari kamar gue!” Dara keluar dari kamarnya sembari menggendong ransel yang berisi barang-barangnya. Di ikuti oleh Dzikri dan Aldian.

“Ma, yah, Dara berangkat dulu ya?”

“Iya sayang, jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa buat selalu ngabarin.” Amanat dari Wisnu.

“Hati-hati.” Dara mencium kedua tangan orangtuanya. Dara melambaikan tangannya sebelum pergi keluar untuk menemui Gifar. Gifar sudah menunggu Dara di depan pintu, menunggu sahabatnya itu.

Mobil Gifar mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah Dara. Tak lama setelah Dara pergi, Aldian pamit pada kedua orang tua Dara dan Dzikri untuk pulang karena sudah sore. Aldian memacu motor matic nya pergi dari pekarangan rumah Dara.

Sesampainya di rumah, ia duduk di sofa. Keadaan rumah selalu seperti ini, sepi. Kedua orang tua nya selalu sibuk bekerja, sebagai anak satu-satunya di keluarga itu, Aldian selalu merasa kesepian.

Baru saja Aldian memejamkan matanya, ponselnya berdering, satu panggilan masuk. Aldian membuka matanya guna melihat nama orang yang menelponnya, ia raih ponselnya dan tersenyum kecil.

“Halo, bang.”

“Gimana, lo sehat?”

“Hm, sehat. Lo?”

“Doain aja buat selalu sehat.”

“Kak Dara udah berangkat, tadi.”

“Cia gak ada temennya lo.”

“Dirumah ada siapa? Gue kesana ya, rumah sepi nih.”

“Gue aja yang kesana, mumpung free.”

“Bawa makanan ya!”

“Yang ada juga gue, kan gue tamunya, Asep!"

“Dirumah lagi krisis makanan bang, gue males beli nih. Indomaret berasa jauh banget.”

“Indomaret tinggal beberapa langkah dari rumah terus nyebrang aja masih bilang jauh.”

“Jauh bang, kan gue lagi males, jadi jauh.”

"Yaudah, gue mau siap-siap dulu nih, jangan kemana-mana lu!"

Aldian langsung memutuskan panggilan tersebut tanpa mendengarkan balasan dari orang di seberang sana. Aldian menggendong ranselnya kemudian berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.


Tokyo, 7.58 PM JPN

Erlangga duduk di kursi belajarnya, ia sedang sibuk bergelut dengan tugas pada laptopnya, hidup di Jepang tidaklah semenyengkan yang di pikirkan, di Jepang semuanya serba cepat, lambat sedikit sudah pasti akan tertinggal.

Kali ini apartement nya sepi karena Keinarra tidak datang, ia sedang terbaring lemah di rumah sakit. Erlangga segera menyudahi aktivitas nya karena sudah tak tahan dengan kantuk yang menyerang, ia meninggalkan laptopnya dan pergi ke dapur untuk membuat kopi. Hobinya masih sama, suka dengan kopi.

“Kok tiba-tiba kangen Indonesia ya?” Erlangga tersenyum tipis kemudian menyesap kopinya lagi. Tiba-tiba ponsel Erlangga berdering, satu pesan masuk. Erlangga meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar, tersenyum kala melihat sebuah nama yang mengirimkan pesan padanya.

Rifaul
Keluar, gue depan apart lo.


Senyum Erlangga merekah ia segera berlari menuju pintu apartement nya, berharap Rifaul benar-benar ada disana. Dengan gerakan tergesa-gesa Erlangga membuka pintu apartement nya. Dan nampaklah Rifaul dengan rambut yang sedikit gondrong, ransel di punggungnya, serta satu kantong besar di tangan kirinya.

“Apa lo liat-liat?” Erlangga tersenyum kecil kala kalimat tanya yang seperti sapaan bagi Erlangga itu terdengar di telinganya, ia rindu sahabatnya yang satu ini, sahabat yang berjuang bersama hingga mereka berdua bisa ada di Jepang seperti sekarang, ia Rifaul. Rifaul Haris Adelard. “Peluk gue sini!” Ucapnya dengan nada kesal sembari merentangkan tangannya. “Hoy! Pegel nih gue!” Ucapnya lagi. Erlangga terkekeh kemudian membalas pelukan Rifaul, setelahnya saling tos ala mereka berdua.

Ananta wa hansamu ni mieru.” Ucap Rifaul dengan bahasa Jepangnya.
(Lo tambah ganteng).

“Bacot!” Ucap Erlangga kemudian masuk kembali ke dalam.

“Woy gue ini tamu lho, tamu dari dari Jepang malah, gak di suruh masuk nih?”

“Masuk tinggal masuk!” Rifaul tersenyum kemudian masuk ke dalam apartement Erlangga dan duduk di sofa.

“Cokelat panas aja, Lang.” Ucap Rifaul.

“Gue belom nawarin!” Erlangga terkekeh.

“Gue itu tamu yang baik, gak usah di tawarin juga minta sendiri.” Balas Rifaul. Erlangga menggeleng dan pergi ke dapur untuk menyiapkan cokelat panas. Tidak ada yang berubah dari Rifaul, meski rambutnya sedikit berubah, tapi sifatnya tetap sama, tetap membuat orang lain tertawa akan tingkahnya.

Erlangga datang dari arah dapur dengan segelas cokelat panas untuk Rifaul, ia menyimpannya di atas meja.

“Kok rambut lo bisa gondrong gitu sih?” Tanya Erlangga sembari duduk di hadapan Rifaul.

“Lagi nyoba gue ganteng apa enggak, kan dulu gue botak tuh tapi tetep ganteng, nah sekarang nyobain gondrong eh tetep ganteng juga. Kadang gue gak ngerti, kenapa gitu gue tuh ganteng terus?” Rifaul mengangkat gelas berisi cokelat panas yang Erlangga sediakan di atas meja, kemudian menyesapnya.

“Otak lo tuh bener-bener, Fa.” Ucap Erlangga.

“Bener-bener cerdas ya?” Tanya nya.

“Bener-bener di luar nalar!” Erlangga terkekeh di ikuti Rifaul yang juga terkekeh.

“Udah lama gue gak bercanda kayak gini.” Ucap Rifaul.

“Gak ada temen buat dengerin jokes lo yang receh ya?” Tanya Erlangga sembari tersenyum.

“Iya, humor kalian kan receh.” Rifaul tertawa. Keduanya diam. Erlangga hanya mengamati Rifaul sedangkan Rifaul menatap bibir gelas berisi cokelat panas.

“Dara udah berangkat prakerin, Lang.” Ucap Rifaul tiba-tiba. Erlangga tersenyum kemudian menyandarkan punggungnya pada sofa. Ia menghela nafasnya.

“Udah lama gak denger kabar dari dia.” Ucap Erlangga.

“Masih ada gak sih harapan buat Dara sama lo?”

“Maksud lo?” Erlangga mengernyit.

“Harapan buat lo sama Dara kayak dulu. Gue gak ngerti hubungan kalian berdua ini apa? Lo berdua sama-sama nunggu, sama-sama menjaga hati, tapi hubungan kalian itu apa?"

“Lo cowok, Lang. Kalo emang udah gak mau lanjutin, gue saranin lo bilang sama dia biar dia gak nutup hatinya buat orang lain. Dan supaya lo gak berat buat nyari yang lain.” Lanjutnya. Erlangga terdiam, kepalanya tertunduk menatap permadani di bawah sana.

“Gue mau pertahanin Dara.” Ucap Erlangga kemudian.

“Bilang sama dia, jangan hilang kabar kayak gini.” Titah Rifaul. “Gak ada yang tau hati orang, Lang.” Lanjut Rifaul.

ERLANGGA (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now