48: That Man

23.6K 3K 147
                                    

Malam ini langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang meski tak seterang sinar bulan.
Dari balkon lantai dua Ha-young dapat menyaksikan dengan leluasa bagaimana indahnya langit malam yang bertabur bintang.

Mata gadis itu terus menatap ke atas. Raut wajahnya terlihat fokus seolah tengah menghitung bintang-bintang yang ada di langit. Padahal nyatanya tidak demikian.
Ia tidak sedang menghitung bintang tapi, memikirkan apa yang hari ini terjadi.

Ya, Ha-young sedang memikirkan Jung Jaehyun. Jung Jaehyun yang terlihat cukup terpuruk setelah bertemu sang ayah. Jung Jaehyun yang begitu menderita karena luka lama itu. Mungkin kali ini Ha-young memang salah. Ia terlalu memaksa Jaehyun dan mengabaikan keadaan Jaehyun yang belum stabil. Harusnya Ha-young ingat bahwa sejak Jaehyun menikah dengannya belum pernah sekalipun pria itu kembali ke rumah dan menemui ayahnya.
Harusnya Ha-young paham bahwa pria itu sedang berusaha untuk menata hati dan pikirannya agar tak semakin membenci sang ayah.

"Kenapa belum tidur?"

Jantung Ha-young hampir melompat keluar dari tempatnya saat sepasang lengan kekar tiba-tiba melingkar di perutnya dibarengi suara berat yang menyapa pendengarannya.

"Jaehyun?"

Pria itu berdehem lalu menyandarkan dagunya di pundak sang istri. Sebuah gestur yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya.

Ha-young menghela nafas lalu mengelus pelan lengan kekar Jaehyun. Matanya terpejam menikmati kehangatan dari pelukan Jaehyun dan kesejukan angin malam.

Kehadiran Jaehyun sedikit banyak telah membuat pikiran Ha-young teralihkan. Kekhawatiran yang menghuni hati dan benaknya sedikit memudar.

"Jaehyun, maafkan aku." ucapnya masih dengan mata terpejam.

"Maaf untuk apa? Seharusnya aku yang minta maaf. Aku sudah membuatmu khawatir. Iya, kan?"

Jika ditanya khawatir atau tidak tentu saja Ha-young khawatir. Wanita mana yang tidak khawatir saat melihat suaminya mengamuk dan hampir melukai ayahnya. Tapi, daripada menunjukkan rasa khawatirnya Ha-young lebih memilih untuk menutupinya dengan bersikap lebih tenang agar Jaehyun tak semakin terpuruk dan digelayuti rasa bersalah.
Begitulah cara Ha-young mengatasi rasa khawatirnya yang sebenarnya sampai sekarang belum mereda.

"Maafkan aku karena telah memaksamu untuk bertemu ayahmu. Kali ini aku salah, Jae. Aku tidak memikirkan perasaanmu."

"Kau selalu memikirkan perasaanku. Aku saja yang tidak bisa mengendalikan diri dan selalu mengacaukan segalanya."

"Jung Jaehyun!!"

Ha-young berbalik dan menghadiahi Jaehyun dengan tatapan sengitnya.
Percayalah sekarang gadis itu benar-benar diliputi rasa kesal. Ia kesal karena lagi-lagi Jaehyun menyalahkan diri sendiri. Dari semua hal yang ada dalam diri Jaehyun, Ha-young paling benci dengan kebiasaan Jaehyun yang suka menyalahkan diri sendiri. Meskipun ia tak menampik bahwa ia juga pernah dan sedang merasa seperti itu. Tapi tetap saja menyalahkan diri sendiri bukanlah pilihan yang tepat untuk menghadapi masalah.

Ha-young ingat betul bagaimana rasanya menyalahkan diri sendiri. Sangat tidak menyenangkan bahkan untuk sekedar bernafas pun rasanya sulit. Ha-young merasa seperti sekarat tapi, tidak bisa mati. Dan Ha-young sangat benci saat membayangkan Jaehyun yang juga merasakan hal itu.

"Jangan... menyalahkan dirimu sendiri. Belum cukupkah kau hidup dengan penderitaan?"

"Orang itu mati tepat di depan mataku, Ha-young. Dia memohon bantuan padaku tapi aku...aku hanya diam dan menyaksikannya meregang nyawa. Bagaimana mungkin aku tidak menyalahkan diriku sendiri?"

"Aku juga. Aku juga kehilangan dia satu jam setelah dia melamarku. Aku kehilangan dia setelah ayahku tahu hubunganku dengannya. Aku juga membunuhnya tapi..."

Raut wajah Jaehyun berubah. Mulutnya terbuka lalu tertutup lagi. Seolah ingin bertanya namun, terurung. Malam ini Jaehyun kembali menyaksikan istrinya yang dirundung kepedihan. Malam ini Jaehyun kembali mendengar istrinya mengucapkan pengakuan akan betapa pilu kisah hidupnya di masa lalu.

"Jae...aku tahu. Aku sangat tahu apa yang kau rasakan. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Aku yakin semua itu sudah menjadi takdir Tuhan. Meskipun sulit untuk diterima tapi... setidaknya kita harus belajar untuk menerimanya. Kita tidak boleh terus terjerat dalam kehidupan seseorang yang telah tiada. Aku yakin kita bisa melaluinya bersama-sama. Sekarang aku punya kau dan kau juga punya aku. Kita bisa saling berbagi kepedihan, kita bisa saling bersandar. Dan kita harus berhenti menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi."

"Tapi...karena aku orang itu mati. Karena aku...Nancy kehilangan kakaknya."

Ha-young memeluk Jaehyun dengan erat untuk meyakinkan Jaehyun bahwa mulai sekarang semua akan baik-baik saja. Rasa bersalah itu memang tak akan bisa dihapus tapi, setidaknya dengan bersama-sama mereka bisa menjadi lebih baik. Mereka bisa berusaha untuk hidup seperti orang normal yang makan dengan teratur, tidur dengan nyenyak tanpa harus mimpi buruk dan terbangun dengan harapan hidup bukan dengan perasaan ingin mati.

Mungkin berat saat mengingat nyawa orang-orang yang meninggal karena mereka. Mungkin menyakitkan saat membayangkan bagaimana perasaan keluarga yang tiba-tiba ditinggalkan. Tapi, meskipun begitu hidup harus terus berjalan. Ha-young yakin mereka sudah mencoba untuk merelakan dan menerima kenyataan. Jadi, seharusnya baik dirinya maupun Jaehyun juga harus mulai menerima semuanya.

"Ha-young..."

"Emm?"

"Apa kau...masih mencintai pria itu? Pria yang melamarmu."

Ha-young melepas pelukannya dan kembali menatap Jaehyun.

"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Hanya... kupikir dia beruntung karena dicintai oleh gadis sempurna seperti dirimu. Seandainya dia tidak meninggal pasti kau akan menolak perjodohan kita dan menikah dengannya, kan? Iyakan?"

"..."

"Kenapa diam? Jadi, benar? Kau masih mencintainya?"

Bibir Ha-young mengulas senyum penuh arti. Membuat Jung Jaehyun semakin dikuasai rasa penasaran sekaligus rasa jengkel karena memikirkan kemungkinan bahwa istrinya masih menyimpan perasaan pada lelaki yang tak Jaehyun ketahui namanya itu.

"Jaehyun...dulu aku menyayanginya, sangat. Aku juga mencintainya karena itu saat dia mati ditangan ayah dan Taehyung aku pun...ingin mati."

"Dan sekarang kau masih mencintainya? Lalu bagaimana dengan..."

Tubuh Jaehyun menjadi kaku saat Ha-young tiba-tiba mengecup bibirnya lalu mengusap pipinya dengan lembut.

"Aku tidak akan di sini jika aku masih mencintainya, Jae. Aku mungkin kehilangan dia tapi, aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin menjadi bodoh untuk kedua kalinya. Kau dan...dia adalah orang yang berbeda. Jadi, aku bisa membedakan dengan baik untuk siapa hatiku saat ini."

"Kalau begitu boleh aku tahu namanya?"


















🍁To Be Continue🍁

Mari ramai-ramai jawab pertanyaan Jaehyun!
😂😂😂
Tapi di dalam hati aja.
😆😆

Bad HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang