AD - 042

114 12 0
                                    

happy reading friend b!
jangan lupa vote dan comment ya :)
enjoy this story 🤍



"Kalau memang kita ditakdirkan untuk bersama, mau sejauh apapun jarak yang ada di antara kita. Tuhan pasti akan persatukan kita kembali."

__________



"Harusnya gue ada di sana, tapi dengan bego nya gue malah lupa! ARGH!!!"

"Gue sayang sama dia, dan gue gak akan pernah bisa ikhlas kalau kehilangan dia dari hidup gue!"

________

Sesampainya di Rumah Sakit Rafflesia, usai memarkirkan motornya. Devano langsung dengan cepat berlari memasuki pintu utama, hendak menuju meja resepsionis.

Dengan napasnya yang terengah-engah, Devano mulai membuka suaranya. Suster yang ada di meja resepsionis menatapnya keheranan.

"Maaf suster, ruang operasi di sebelah mana ya?"

"Ruang operasi ada di lantai tiga mas," jawab sang suster membuat Devano mengangguk antusias. "Makasih sus, kalau begitu saya permisi."

Devano mulai berlari kembali di sepanjang koridor rumah sakit- mencari keberadaan lift. Saat ini pikirannya tengah kacau, dua orang yang ia anggap berharga kini sama-sama terluka karenanya. Tak dapat di pungkiri kini wajah Amalinda pun terbayang-bayang di pikirannya. Rasa bersalah nya pada gadis itu mulai muncul di kepalanya, membuat flashback saat di mana ia terlalu sering membuat hati Amalinda sakit.

Maafin aku Al, aku gagal buat kamu bahagia.

Maafin gue Lus, gue gak bisa balas perasaan lo. Dan sekarang lo sakit karena gue.

Tak hanya Amalinda yang ada di pikirannya, kini bayang-bayang Lusiana pun menghantui pikirannya. Gadis itu kini mengalami mental down, keadaan fisik nya juga banyak perubahan. Saat Devano berada di rumah Lusiana, tatapan gadis itu saja kosong. Ia juga tak banyak memberi respon pada Devano, ketika lelaki itu mengajaknya berbicara.

Gue gak tau lagi harus ngelakuin apa, sekarang posisi gue serba salah. Mereka berdua pasti benci banget sama gue.

Saat sampai di depan pintu lift, Devano memelankan langkahnya. Wajahnya terlihat sangat kusut seperti orang kurang tidur, dan rambutnya juga sangat acak-acakan.

Ting!

Pintu lift terbuka, menampilkan seorang kakek-kakek bertopi dengan tongkat di tangan kanannya. Devano hanya menamati sekilas saat memasuki lift, lalu dirinya kembali menunduk sembari mengusap kasar wajahnya.

Kakek itu melihat ke arah Devano, seperti mengerti sekali dengan keadaan yang Devano alami saat ini.

"Cu' masalah percintaan ya?" tiba-tiba sang kakek menepuk pundak Devano, hingga lelaki itu spontan menoleh.

"Eh nggak kok kek, saya gak ada masalah apa-apa." jawab Devano mencoba se tenang mungkin, sembari menyunggingkan senyum tipis.

Namun ekspresi sang kakek malah membuat Devano mengerutkan dahinya, kakek itu menggelengkan kepala seraya tersenyum.

"Kakek tahu, dan bukan bermaksud ingin ikut campur." Devano terlihat kebingungan, ia tak dapat menebak pikiran sang kakek tentangnya.

AMOUR DESTIN | not my destiny ( the end )Where stories live. Discover now