2. MIPA

1.4K 128 60
                                    

Gadis dengan piyama berwarna biru muda dengan berbandana senada sedang fokus menonton film kesukaannya di ruang keluarga. Rambutnya masih acak-acakan karena belum mandi. Matanya pun masih sayu karena baru bangun.

"Mamah udah berangkat ke rumah sakit, Vy?" tanya Vero kepada gadis tersebut. Gadis yang tak lain adalah putrinya.

Ivy menatap wajah papahnya sejenak. "Mamah ambil raportnya Ivy," balas Ivy.

Vero menepuk dahinya. Ia benar-benar lupa jika putrinya sudah menjalani enam bulan sebagai murid putih abu-abu.

"Astaga! Maaf, Ivy. Papah benar-benar lupa," lirih Vero merasa bersalah.

Ivy mendecak kesal. Kapan juga orang tuanya tidak melupakan putri tunggal mereka?

"Bukan lupa lagi, tapi udah kebiasaan. Papah selalu sibuk sama dunia sendiri. Mamah juga terlalu sibuk sama dunianya sendiri. Ivy selalu sendiri, gak ada yang nemenin, Pah." Gadis tersebut langsung mengeluarkan unek-unek yang sudah lama ingin ia utarakan.

Vero hanya diam mendengarkan unek-unek putrinya. "Menjadi dokter itu menyenangkan, Ivy. Kita punya tanggung jawab besar, kita bisa menyelamatkan banyak orang, kita bisa ...."

"Tapi papah gak bisa menyelamatkan putri papah sendiri. Putri papah yang membutuhkan kasih sayang," potong Ivy.

Vero mengambil tas kerjanya. Ia tersenyum simpul mendengar semua keluh kesah putrinya. "Papah tahu Ivy marah. Papah tahu Ivy kecewa, tapi papah yakin Ivy bisa jalanin ini. Ivy kuat, Ivy bisa bertahan sejauh ini. Nanti malam papah belikan Ivy hadiah. Papah percaya kalau Ivy menjadi yang terbaik."

"Ivy gak butuh hadiah, Pah. Bahkan Ivy gak yakin kalau Ivy dapat peringkat."

Vero merapikan pakaiannya. Ia memakai sepatu kerjanya lalu berdiri di depan Ivy. "Papah berangkat dulu ya. Kamu jangan lupa sarapan, vitaminnya jangan lupa juga! Kalau mau nonton film jangan banyak-banyak! Main hp sewajarnya! Kasian mata kamu, dia capek. Kalau mau pergi pamit sama Mbok Darmi," pesan Vero sambil mengusap rambut putrinya.

Ivy diam tak bergeming. Ia ingin protes. Ia ingin semuanya tahu kalau hidup tanpa kasih sayang orang tua itu sangat berat. Orang tuanya dr. Vanya Maurenia Vianly dan dr. Vero Mahardika Ardipati terlalu menduniakan pekerjaan. Orang tuanya egois. Lima belas tahun Ivy hidup tanpa kasih sayang yang cukup. Lima belas tahun Ivy hidup dengan Mbok Darmi. Hanya Mbok Darmi yang menemani.

"Non Ivy makanan sudah siap, mau makan di sini atau di meja makan?" tanya Mbok Darmi kepada putri majikannya.

Ivy nampak sangat murung. Mukanya ditekuk sedemikian rupa. Senyum yang biasa disuguhkan, kini disembunyikan. "Ivy gak mood makan, Mbok."

Mbok Darmi hanya diam membisu mendengar ucapan Ivy. Dirinya tahu, sangat tahu jika gadis berusia lima belas tahun itu sedang merasakan kesepian.

"Ya sudah, nanti kalau Non Ivy mau makan panggil Mbok Darmi saja, ya." Ivy mengangguk, Mbok Darmi langsung pergi meninggalkan Ivy.

***

Vanya sedang berada di mobil saat ini. Ia mengendarai kendaraan tersebut dengan sangat cepat. Jari jemarinya mengepal menandakan ia tengah menahan amarah.

"SIAL!" umpatnya dengan menggebrak setir mobil.

***

Ivy mendengar suara pintu dibuka. Benar, mamahnya sudah pulang dengan membawa raport berwarna biru.

Vanya melempar raport Ivy dengan penuh amarah. "Nilai macam apa ini, Sylvia?!"

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now