37. Rencana Pindah

270 34 0
                                    

Ivy sudah siap di meja makan saat ini, ia memakan makan malam dengan hati penuh keingintahuan. Terbesit bayangan tadi siang di benaknya. Saat di mana semua keluarga berkumpul dan membicarakan satu hal tentangnya. Natasya sama sekali tidak mau memberitahu Ivy. Gadis itu diam dan melanjutkan mengerjakan tugas saat ditanya banyak hal oleh Ivy.

Untuk pertama kalinya Natasya diam dan tidak memberitahukan pertanda apapun ke Ivy. Katanya nanti juga Ivy akan tahu sendiri, masalahnya kapan? Ivy dari tadi terus menunggu waktu di mana mereka semua akan berbicara. Kata Natasya juga, ini adalah hal yang tidak seharusnya Ivy ketahui dan nantikan beritanya. Ini adalah kabar buruk. Entahlah. Ivy tidak tahu kabar buruk ataupun baik, gadis itu akan tetap menanti.

"Ekhem, Ivy ada yang ingin Opa bicarakan dengan kamu," ujar Darka yang tentunya membuat Ivy tersenyum bahagia. Akhirnya sebentar lagi Ivy tahu hal apa yang mereka semua bicarakan.

Doa terbaik Ivy saat ini, semoga dirinya tidak kecewa dengan pembicaraan kali ini.

"Mau bicara tentang apa, Opa?" tanya Ivy seolah tidak tahu apapun. Kerap kali Ivy memang seperti itu, memilih bungkam dan membiarkan yang bersangkutan lah yang bercerita kepadanya, daripada harus seolah tahu dan jatuhnya salah paham.

"Tadi siang kita sekeluarga sudah membicarakan ini semua. Kita bicara kalau masalah yang saat ini terjadi seharusnya diselesaikan dengan cepat. Ravin itu keras kepala, dia sama sekali tidak bisa dibicarakan dengan baik."

Oh ayolah, keras kepala teriak keras kepala, ada-ada saja.

Ivy mengetukkan sendok yang sedang ia gunakan. Rasa penasarannya semakin bertambah, bahkan terbesit rasa khawatir di dalam relung sana. Oleh karena itu Ivy menetralisir dengan mengetukkan sendok.

"Kamu harus pindah, Ivy."

Jantung Ivy berdetak jauh lebih cepat, Ivy benar-benar tercengang bukan main. Apa yang barusan ia dengar? Pindah? Atmosfer di ruangan ini benar-benar membuat tubuh Ivy kaku.

"Pi-pindah?" beo Ivy dengan gagapnya. Semua anggota keluarga tentunya langsung manggut-manggut sebagai jawaban.

Jadi ini kabar buruk yang Natasya bicarakan. Kalau seperti ini ceritanya, Ivy sama sekali tidak ingin penasaran dan tidak ingin tahu-menahu soal ini saja.

Ivy menggeleng. Gadis itu menolak dengan jelas keputusan mereka semua. "Kenapa? Kenapa harus pindah?" tanya Ivy dengan mata yang berkaca-kaca.

Benar rupanya firasat yang Ravin katakan. Firasat itu memang benar-benar terjadi. Apa yang harus Ivy katakan kepada Ravin nanti? Pantas saja Ivy sama sekali tidak yakin dengan kalimat yang dirinya ucapkan supaya Ravin percaya Ivy tidak meninggalkannya.

Ivy itu pembohong.

Kalimat seperti itu terus berputar, berkecamuk dalam benak Ivy sendiri. Satu kalimat yang memang membuat Ivy semakin merinding dan takut.

Ivy takut Ravin akan mengatakan hal demikian nantinya.

Ivy seorang pembohong.

"Sudah jelas tentunya alasan kita mengucapkan hal demikian. Apa yang kita putuskan adalah hal yang terbaik. Keluarga ini sama sekali tidak mau kalau putrinya berpasangan dengan pria miskin yang sama sekali jauh dari kata pantas."

Cukup menampar, Ivy selalu ditampar dengan kenyataan yang menyakitkan.

"Apa segitu bencinya kalian dengan Ravin sampai-sampai kalian menjauhkan Ivy dengan dia?" tanya Ivy dengan polosnya. Pertanyaan retoris yang Ivy sendiri tahu jawabannya.

Mereka semua memang membenci Ravin.

Ivy bangkit dari duduknya. Ia menatap semua pasang mata di meja makan dengan tatapan sendu. "Kalian egois kalau kayak gini ceritanya. Kalian itu ingin menang sendiri. Tidak pernah menginginkan Ivy bahagia."

Ivy menatap Natasya, gadis itu meminta pertolongan kepada Natasya. Hanya Natasya lah satu-satunya harapan Ivy untuk menentang keluarga. Natasya itu anak emas, semua keinginan Natasya pasti dipenuhi.

"Nat, lo tau gue gimana, kan? Lo gak mau bantuin gue? Lo gak mau gue bahagia? Gue selalu cerita sama lo, Nat. Gue selalu minta bantuan ke lo, dan sekarang lo gak mau bantuin gue? Haha, harusnya gue paham dari awal, lo itu sama aja. Lo sama aja egoisnya sama mereka semua. Lo sama aja pengen menang sendiri. Harusnya gue sadar kalau lo anggap gue sebagai musuh, kan?" Ivy tertawa hambar. Semuanya pengkhianat.

Natasya yang selalu Ivy harapkan sebagai dewi penolongnya juga pengkhianat. Memang benar kata orang, berharap kepada manusia itu menyakitkan.

Kini tatapan Ivy beralih ke Vio. Gadis dengan piama biru itu nampak menggelengkan kepalanya, tidak mau membantu Ivy. "Vi, lo gak mau bantuin gue juga?"

Tante Viella mendekatkan dirinya kepada Vio, seolah tak mengizinkan Vio membantu Ivy. "Jangan bawa-bawa Vio."

Oke, Ivy paham sekarang. Semua orang tidak ada yang membantu dirinya. Cukup mengenaskan, rupanya seperti ini rasanya ditikam dari belakang.

Ivy melangkahkan kakinya menuju Vanya, Vanya yang merasa didekati itu malah menggeleng dan berjalan mundur ke belakang. "Mah," rengek Ivy meminta bantuan.

"Enggak, Ivy. Belajar tanggung jawab." Haha, lucu sekali. Semuanya memang ingin membunuh Ivy secara perlahan. Tanggung jawab mana lagi yang harus Ivy pelajari? Ini masalah cinta, bukan tugas apalagi tanggung jawab.

"Apalagi yang harus Ivy pelajari sih, Mah? Tanggung jawab mana lagi yang kurang Ivy kuasai? Ini gak ada kaitannya sama tanggung jawab, Mah." Realistis, Ivy memang senang berbicara realistis, memang itu kenyataannya, bukan?

"Belajar tanggung jawab untuk bisa menghargai keputusan keluarga," balas Vanya dengan sarkasnya.

Ivy menyunggingkan senyumnya semakin lebar. Selalu saja Ivy yang harus memahami, selalu saja Ivy yang harus mengerti. Lalu kapan keluarga harus menerima keputusan Ivy? Kapan keluarga bisa menerima kenyataan?

"Realistis aja deh, Mah. Bilang aja kalau keluarga terpandang selalu melakukan banyak cara, menghalalkan berbagai macam cara, mematahkan mimpi, mematahkan semangat, dan lainnya untuk mempertahankan reputasi. Ivy jadi gak yakin kalau mamah sama papah, dan kalian semua, Oma sama Opa, Om sama Tante, menikah karena cinta. Ivy jadi yakin kalau kalian semua menikah karena harta, kan?"

Semua pasang mata langsung menatap tajam ke arah Ivy, entah itu kenyataannya atau tidak, tapi Ivy jadi mengerti sekarang, yang ada di benak orang kaya hanyalah bagaimana mereka semakin kaya, semakin menambah keluarga besar, semakin bertambah harta, menaikkan reputasi. Sampah.

"Lo juga matre kan, Nat?" tuduh Ivy dengan tatapan menantang. Natasya yang mendengar hal tersebut langsung mengepalkan tangannya, tentunya tak terima dengan apa yang dikatakan Ivy.

"Tutup mulut lo!" sentak Natasya dengan kilatan marah.

"Lo pikir gue gak tau? Lo cari cowok bule, kaya raya, tampan, dokter lagi, pasti matre, kan?" tuduh Ivy semakin menjadi-jadi.

"Gue gak serendah lo! Gue tau kalau lo sama Ravin cuma pencitraan, kan? Lo seolah menerima apa yang terjadi sama Ravin, padahal ada udang di balik batu, iyakan?"

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang baca part ini!

Natasya sama Ivy ribut mulu, hiks.

Masalah apa yang akan terjadi di part selanjutnya?

See you!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now