46. Keadaan Ravin

332 29 0
                                    

Seorang pria yang tengah duduk di bangku kantin sekolahnya menatap ke arah sembarang, pikirannya melayang ke sana kemari, pikirannya menuju ke satu gadis yang sudah membuatnya tergila-gila. Gadis yang kini entah ke mana, entah sedang apa, dan entah dengan siapa.

"Lo masih mikirin Ivy, Vin?" tanya Aksa sambil menyodorkan satu mangkuk mie ayam dan satu gelas es teh. Aksa memang rela mengantre untuk membeli makanan untuknya dan Ravin, pasalnya pria itu tidak ingin kantin menjadi berantakan karena ulah Ravin.

Kemarin, baru saja kemarin. Ravin memecahkan mangkuk dan gelas, bahkan tumpahan kuah dari mie ayam mengenai siswi lain hanya karena melamun dan kantin sedang sesak-sesaknya. Semenjak Ivy pergi, Ravin kini lebih sering melamun. Ravin kini lebih sering berjalan sempoyongan, tidak ada gairah hidup sama sekali. Sekolah pun jadi terbengkalai semuanya.

"Gimana gue gak kepikiran sama Ivy? Coba bayangin lo yang ada di posisi gue. Lo yang ditinggal pergi Kayla, dan Kayla cuma ngasih surat doang. Sakit, Sa. Dia yang bikin janji untuk gak akan pergi, dia yang bikin janji bakalan tetep ada di sini, sekarang gue sama sekali gak tau mau hubungi dia gimana, dia lagi di mana, nomernya dia berapa aja gue gak tau."

Mata Ravin berkaca-kaca, laki-laki boleh menangis, bukan? Bukan karena Ravin terlalu bucin atau bagaimana, namanya patah hati memang semenyakitkan itu. Rasanya ditinggal pergi memang sepedih itu.

Bening yang baru kembali ke meja dengan tangan membawa satu cup popice beserta sedotannya pun langsung memelototi Aksa dan Ravin tajam. "Jangan bahas di sini, ini kantin. Kalau kalian kelepasan bisa malu," tegur Bening mengerti permasalahannya.

Pasti karena membahas Ivy. Sebenarnya Bening juga sedih, sangat sedih. Sama seperti Kayla dan Ravin tingkat kesedihannya, namun Bening tidak mau mengungkapkan itu semua, apalagi menunjukkan. Tugas Bening sekarang adalah menyemangati Ravin dan Kayla supaya tidak terlarut.

Ditinggal Ivy, tanpa pamit, hanya diberikan sepucuk surat yang ditulis untuk Ravin itulah yang membuat semua orang mendesah sedih. Bisa-bisanya Ivy tidak say good bye sama sekali. Namun semua orang masih berpikiran positif, itu semua pasti karena keluarga Ivy yang memaksa.

Bening memajukan tubuhnya, ia memeluk Ravin dan mengusap punggung Ravin dengan lembut, setelah dirasa cukup gadis itu menyugar rambut Ravin. "Lo pasti kuat, Vin. Inget sama janji lo dan Ivy, kekuatan takdir akan selalu ada. Takdir akan selalu memancarkan sinarnya. Lo dan Ivy pasti akan bersatu."

Aksa pun turut sedih, kehilangan sahabatnya juga. Ivy adalah sahabatnya, sahabat yang kadang memberikan petuah-petuah jika sedang ada masalah dengan Kayla. Orang pertama yang maju saat Kayla menangis, walaupun Aksa jauh lebih dekat dengan Bening ketimbang Ivy.

"Lo juga jangan sok kuat kayak gitu, Ning. Kalau lo mau nangis, nangis aja, jangan dipendam, nanti sesak. Gue tau kalau lo sedih, lo terpukul atas kepergian Ivy. Lo pasti berpikir kenapa Ivy tega banget gak pamit, kan?" Aksa memeluk Bening, pelukan sahabat seratus persen. Semua orang tak perlu menuduh kedua insan ini sedang ada masalah apa, karena mereka tahu hubungan Aksa dan Bening yang sebenarnya.

***

Bluethetic, nama kafe yang sering menjadi persinggahan bagi Aksa, Kayla, Ravin, Bening, dan juga Ivy dulu. Namun sekarang satu orang di antara mereka sudah tidak ada, sehingga banyak yang menganggap mereka sedang double date. Padahal yang sebenarnya terjadi hanyalah seorang sahabat.

Kayla masih sangat terpuruk, sudah beberapa hari gadis itu tidak berangkat les, sekolah saja selalu pergi ke UKS ujung-ujungnya, pelajaran olahraga sama sekali tidak bersemangat, upacara pun tak ada semangatnya.

Di pikiran Kayla saat ini adalah Ivy, sepenuhnya untuk Ivy. Pesan singkat dari Aksa saja jarang Kayla balas karena sibuk melamun, memikirkan Ivy.

MIPA VS AKUNTANSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang