24. Cerita Ivy

307 39 0
                                    

Ivy menyandarkan tubuhnya di dada bidang Ravin. Gadis itu merasakan nyaman ketika Ravin mengusap lembut rambutnya, juga merasakan geli saat napas Ravin dan detak jantung Ravin sangat kentara sekali ia dengar.

"Vin!" panggil Ivy dengan rengekan manjanya.

"Kenapa hm?" tanya Ravin yang masih terfokus pada rambut Ivy. Pria itu masih mengusap seolah-olah ingin membuat Ivy tertidur pulas, apalagi kursi kafe yang sedang mereka duduki adalah kursi yang di bawah air conditioner.

"Kamu tau gak sih, kemarin tuh aku berhasil jadi yang pertama di tempat les, aku berhasil menyelesaikan dua ratus soal dalam jangka waktu empat puluh lima menit," ujar Ivy dengan penuh bangga. Gadis itu tersenyum manis dan menatap ke depan, mendapati sepasang kekasih yang sama  sepertinya. Aksa dan Kayla, mereka sedang berdua dengan posisi Kayla yang ada di dada bidang Aksa.

Ravin tersenyum simpul mendengar Ivy bercerita. Ia langsung mengangkat jempolnya untuk memuji Ivy. "Bagus, dong. Tingkatkan lagi kalau gitu, kamu tuh sebenernya bisa, Vy. Kamu tuh sebenernya mampu, kamu cuma kurang percaya dan kurang yakin sama diri kamu sendiri. Aku tau kalau kamu pasti bisa. Kamu bisa jadi yang pertama, kamu bisa masuk paralel, kamu bisa membuat keluargamu bangga."

Ivy mengangguk semangat. Ia juga setuju dengan ucapan Ravin. Mulai sekarang ia harus lebih percaya diri dan yakin dengan dirinya sendiri.

"Aku harus lebih percaya diri dan yakin sama diriku sendiri dong, aku udah mulai percaya kalau usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Apalagi sekarang ada kamu yang selalu support aku, kamu selalu ada di samping aku. Aku jauh lebih semangat pas ada kamu loh, Vin," ujar Ivy dengan jujur.

Ravin terkekeh kecil mendengar celotehan Ivy yang nampak sangat jujur sekali. "Kamu tau, Vy? Impian aku dari dulu itu kamu. Aku pengin sukses, aku pengin selalu ada di samping kamu, aku mau kita bahagia, tapi dari dulu aku terlalu pengecut, aku sama sekali gak mau berjuang. Kalau aja aku gak diomongin sama Aksa untuk berjuang, mungkin aku masih di tempat yang sama. Mungkin aku masih layu, masih gak ada semangat."

Ivy mendongakkan kepalanya, ia menatap wajah Ravin dari bawah dan mencari kejujuran di manik tersebut.

"Kamu itu tempat segalanya buat aku, Vy. Aku janji sama kamu untuk memperjuangkan kamu. Aku janji sama kamu untuk selalu ada di samping kamu. Aku berjuang sekarang supaya aku bisa datang ke orang tuamu, supaya kita bisa bahagia bersama."

Ivy menatap semakin lekat manik mata Ravin, gadis itu nampak seperti menahan tawanya sendiri. "Kamu apa-apaan ih! Bahasannya udah sampai situ aja! Yang terpenting sekarang kamu belajar, aku belajar. Kita sukses masing-masing dulu. Kalau udah takdir, semuanya pasti berjalan dengan lancar," ujar Ivy dengan nada polosnya. Bukannya Ivy tidak mau memikirkan hal seperti itu dengan Ravin, menikah dengan Ravin, berumah tangga dengan pria tampan ini.

Namun ada satu hal yang memang Ivy takutkan terjadi. Ivy takut kalau kedua orang tuanya tidak merestui. Ivy takut kalau keluarganya sama sekali tidak menerima Ravin. Ivy juga sangat takut dengan kakeknya—Darka. Gadis itu takut kalau Darka bisa mencelakai Ravin. Ravin bukanlah calon dokter, pasti seluruh keluarganya menentang hubungan ini.

Pasal seluruh keluarga harus menjadi dokter masih berlaku kalau kalian lupa.

"Gapapa dong, yang penting aku sayang sama kamu, Vy. Because you are everything."

***

Ivy turun dari motor Ravin, gadis itu melepaskan kaitan helmnya lalu melepas helm serta menatap wajah Ravin lekat-lekat. Setelah sekian lama menatap wajah itu, Ivy langsung melambaikan tangannya ke arah Ravin. "Pulang sana, jangan lupa sampaikan salam ke Dara ya, aku kangen banget sama dia, besok-besok aku boleh main, kan?" tanya Ivy yang tentu saja menjadi pertimbangan bagi Ravin.

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now