13. Bimbingan Belajar Ivy

375 46 4
                                    

Ivy memandang tumpukan kertas yang sudah lima belas menit di hadapannya, kertas itu adalah soal-soal dari pelajaran fisika, kimia, dan biologi. Materi yang sama sekali tidak Ivy sukai. Yang ada di pikiran Ivy yaitu fisika sangat membosankan dan membingungkan, Ivy memang pandai matematika, Ivy memang menyukai matematika, tapi untuk menyukai fisika, Ivy sama sekali belum siap.

Pedoman yang Ivy tanamkan saat ini adalah lebih baik ia mengerjakan soal yang semuanya angka, daripada mengerjakan soal yang isinya angka dan nalar, seperti salah satu meja yang bergerak lalu dihitung percepatannya, Ivy bisa menyelesaikan itu, tapi hanya sampai situ saja, tidak bisa memikirkan gaya apa yang diberikan, tidak bisa memikirkan jenis lantai apa, tidak bisa memikirkan arah gayanya, ah sudahlah, memang kalau sudah benci akan susah selamanya.

Jika tadi sudah membicarakan tentang fisika, maka kali ini adalah kimia, ini yang sama sekali tidak Ivy pahami, ia hanya menang saat hitung-hitungan saja, dan gadis itu akan merasa paling bodoh jika berada di laboratorium. Melihat berbagai macam gelas ukur, lalu penggaris, corong, dan lain sebagainya yang Ivy sama sekali tidak ingat. Apalagi saat bertemu dengan zat kimia, auto gemetar karena gak tahu jenisnya.

Sudah puas membahas dua pelajaran di atas? Mari kita bahas satu pelajaran lainnya, ini merupakan pelajaran yang sangat Ivy benci, Ivy selalu merasa bodoh di pelajaran ini karena tidak ada angka sama sekali, ya kecuali kalau sedang membahas jumlah pohon atau jumlah bibit, pasti ada angkanya. Ivy itu salah satu orang yang tidak peduli dengan alam, tidak mengetahui banyak jenis tumbuhan, apalagi jika suruh membedah jenis tumbuhan tersebut lebih dalam, pusing kepala Ivy yang ada.

Biologi adalah salah satu pelajaran yang membuat Ivy mengucapkan istighfar sambil mengelus dada, banyak orang bilang jika biologi adalah pelajaran paling mudah di jurusan MIPA, tapi tidak dengan Ivy. Biologi adalah musuh terbesarnya. Di laboratorium saat praktikum, di taman saat pengamatan, maupun di kelas saat materi sama sekali tidak bisa Ivy cerna dengan baik. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

"Ivy, kenapa soalnya belum kamu jawab? Kamu tidak memperhatikan Kakak?" tanya Kak Metri, salah satu pengajar di bimbingan belajar ini.

Ivy hanya diam tak bergeming sedikitpun. Ia menatap lurus ke depan tanpa menoleh ke Kak Metri.

"Ini tuh pelajaran mudah, Ivy. Batu dilepas dari ketinggian dua puluh meter di atas tanah. Hitunglah waktu sampai di tanah dan kecepatan waktu menyentuh tanah." Kak Metri mendiktekan soal yang dimiliki oleh Ivy.

Lagi-lagi Ivy hanya diam tanpa membuka suara sedikitpun. Ivy sudah malas berada di tempat ini, Ivy sudah malas berada di tempat keramat ini. Rasanya Ivy ingin pergi dan bersenang-senang, atau paling tidak Ivy ingin tidur di kamar kesayangan.

"Kamu tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya, Ivy? Ini sudah diketahui s atau tingginya, vo atau kecepatan awalnya, dan a atau grafitasinya. Kamu tinggal mencari t atau waktu dan vt atau kecepatan akhir. Bahkan rumusnya masih terpampang jelas di papan tulis, belum Kakak hapus. Kalau kamu terus-terusan seperti ini, Kakak bisa melaporkan kamu ke ibumu atau ayahmu supaya mereka menegurmu. Di sini cuma kamu yang tidak niat belajar, Ivy. Di sini cuma kamu yang hanya datang, duduk, melamun, diam, lalu pulang. Materi yang disampaikan masuk kuping kiri keluar kuping kanan."

Kak Metri memberikan jeda atas omongannya.

"Kalau seperti ini terus, kapan kamu bangkit? Kapan kamu bisa mendapatkan peringkat satu paralel? Kapan kamu bisa menjadi kebanggaan? Kamu itu terlalu keras kepala, Ivy. Kamu kurang bersyukur, banyak di luaran sana yang hanya dituntut tanpa diberi arahan, tanpa diberi fasilitas tempat les seperti ini."

Ivy masih diam, ia mencerna apa yang diucapkan oleh Kak Metri barusan. Benar, Ivy ini terlalu keras kepala dan kurang bersyukur. Benar jika di luaran sana banyak orang tua yang menuntut tanpa mau memberikan anak mereka fasilitas.

"Ivy mau pulang, Kak. Ivy capek." Gadis dengan rambut yang dikepang itu membersihkan mejanya, memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, lalu memakai jaket jeans kesukaannya.

"Ivy pamit." Padahal ini masih pukul delapan malam, seharusnya masih ada satu jam intensif lagi, tapi Ivy lelah, pikirannya terus saja memberontak kacau.

***

"Apa-apaan kamu, di hari kedua sudah berani membolos dan memotong jam intensif, sudah merasa pintar kamu? Bahkan soal yang diberikan pun tidak kamu kerjakan. Buka matamu Ivy, les yang mamah dan papah berikan adalah les yang paling terkenal di kota ini, les yang paling tepat untuk kamu berproses. Soal yang dikeluarkan mereka adalah soal yang sembilan puluh persen keluar di ulangan apapun di sekolah. Harusnya kamu memanfaatkan ini semua."

Sambutan yang Vanya berikan memang sambutan yang damage-nya bukan main. Sambutan yang sangat-sangat Ivy jauhi dalam hidup ini.

"Mamah sudah bicara dengan Natasya, supaya dia bisa membuka setidaknya sedikit saja mata kamu, supaya kamu pandai seperti Natasya, supaya kamu bisa sesukses Natasya," lanjut Vanya yang membuat Ivy menghentikan langkahnya.

Lagi-lagi Natasya yang menjadi tempat mengadu Vanya, lagi-lagi Natasya yang Vanya percayai. Lagi-lagi Vanya yang harus Ivy temui untuk penyelesaian masalah.

Apa Vanya sama sekali tidak mengharapkan Ivy? Apa Vanya sama sekali tidak percaya sama Ivy?

"Mamah apa-apaan, sih? Apa-apa Natasya terus, sebegitu kagumnya mamah sama dia sampai mamah percaya banget sama dia? Sampai setiap ada masalah mamah selalu meminta solusi ke dia? Sebenarnya anak mamah itu aku apa Natasya?" Ivy sudah sangat capek jika seperti ini, Ivy sudah sangat lelah, Ivy sudah sangat kecewa. Apa-apa selalu Natasya.

"Gimana mamah mau percaya sama kamu kalau kamu sendiri belum bisa jadi seseorang yang tepat untuk dipercaya. Kamu ngurus diri kamu sendiri aja gak becus, Ivy. Kamu ngurus kegiatan wajib yang semestinya pelajar laksanakan saja tidak becus. Coba jelaskan ke mamah gimana caranya mamah bisa mempercayai kamu?"

Ivy merasa sangat rendah saat ini, Vanya—mamahnya sendiri pun tak mempercayai Ivy, Vanya hanya memandang Ivy sebelah mata, Vanya hanya bisa melihat Ivy dari sisi buruknya saja, sedangkan Natasya selalu diagung-agungkan. Natasya selalu menjadi berlian di setiap keluarga.

Boleh Ivy marah kepada Natasya? Boleh Ivy berharap menjadi titisan Natasya?

"Terserah." Ivy langsung menaiki tangga satu-persatu lagi. Gadis itu membanting pintu kamarnya dengan keras, semua ini membuat Ivy emosi. Semua ini membuat kepala Ivy berdenyut sakit.

Anastasya Shena: Lo apa-apaan sih, Vy! Selalu bikin masalah terus, gak capek jadi beban keluarga?

Beban keluarga, oke Ivy adalah beban keluarga. Oke, Ivy adalah biang onar di keluarga.

Sylvia Ivy: Iya, gue emang beban keluarga. Gue emang biang onar di keluarga besar.

Ivy membanting ponsel yang masih sangat baru. Gadis itu emosi, siapa yang tidak emosi saat keluarganya sendiri menghinanya?

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam buat kalian semua yang baca cerita ini!

Terima kasih sudah membaca dan mensupport Luthfi sejauh ini.

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

MIPA VS AKUNTANSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang