36. Pengorbanan Ravin(2)

285 30 0
                                    

Ravin benar-benar sudah ditolak. Tidak ada satu restu pun yang keluarga Ivy berikan kepadanya. Seharusnya Ravin sadar kalau sampai kapanpun ia berjuang, hasilnya akan tetap sama. Ia akan tetap ditolak. Namun yang dilakukan oleh Ravin tidaklah demikian, Ravin malah terus mencari akal supaya ia bisa bertemu dengan Ivy. Pria itu bahkan sudah merencanakan untuk menemui Ivy dengan bantuan Kayla.

Kata Kayla, sekolah mereka akan pulang lima belas menit lagi, Ravin sudah bersiap di depan SMA Galaksi. Ia sedang menunggu Ivy, Kayla baru saja mengirimkannya pesan bahwa kelasnya sudah bubar, dan Kayla bersama Ivy sedang menuju parkiran. Selanjutnya Ravin hanyalah tinggal menunggu mobil Kayla berhenti di depannya, ia ingin berbicara bersama dengan Ivy lagi.

Sepuluh menit menunggu, benar adanya. Kini mobil hitam berada di hadapannya, hal tersebut langsung membuat Ravin masuk ke jok belakang dan membuat Ivy terlonjak kaget.

"Ravin?" beo Ivy dengan raut terkejutnya. "Lo ngapain bikin rencana gini sih, Kay?" Ivy benar-benar marah kepada Kayla. Gadis itu tidak suka dengan cara Kayla bekerjasama dengan Ravin. Kayla terlalu ikut campur dengan urusannya. Seharusnya Kayla tahu jika Ivy sudah tidak ingin melibatkan Ravin. Seharusnya Kayla paham itu.

"Jangan marah ke Kayla, aku yang minta bantuan sama dia. Kamu marah aja ke aku." Ravin yang tidak enak dengan Kayla langsung mengucapkan hal demikian. Pria itu juga memberikan kode untuk Kayla turun dari mobil, rencana ini memang matang. Kayla akan turun, dan boncengan bersama Aksa, sedangkan Ivy bersama Ravin akan bersama di mobil itu.

Kayla membuka pintu, ia pergi dari mobilnya dan langsung berlari ke arah Aksa. Ivy langsung mengepalkan tangannya, jadi ini semua adalah rencana.

"Kamu ngapain lagi sih, Vin? Semua yang aku ucapin di jembatan aku rasa udah cukup jelas. Aku mau kita memberikan jeda untuk hubungan kita, Vin. Ini cuma sebentar, sampai keluargaku setuju, sampai semua keluarga mengizinkan dan memberikan kita restu, Vin. Aku gak suka caramu kayak gini, Vin. Aku gak suka kamu mengorbankan diri kamu sendiri, dan kamu disakiti sama keluargaku. Keluargaku itu kejam, Vin. Mereka bisa melakukan banyak cara, mereka bahkan bisa melenyapkan kamu."

Ravin menggenggam tangan Ivy dengan erat, pria itu menyalurkan rasa rindunya. "Aku gak peduli, mau mereka melenyapkan aku, mau mereka ngapain aku, yang terpenting aku ada di samping kamu, Vy."

"Vin, aku akan merasa bersalah kalau ada sesuatu yang terjadi sama kamu, please ngertiin aku. Aku gak akan melupakan kamu, aku gak akan jauh dari kamu. Aku akan tetap di sini, aku gak akan ke mana-mana." Ivy menatap wajah Ravin dengan seksama. Ravin memang memiliki berbagai macam cara untuk terus membahagiakan Ivy.

"Tapi firasatku mengatakan kalau kamu mau pergi, Vy. Kamu mau jauh dari aku. Aku gak mau itu semua terjadi, Sylvia." Firasat memang biasanya selalu tepat, kadang juga melesat. Firasat datang karena terkaan, karena ketakutan juga dominan. Ivy tidak bisa menjawab apa yang Ravin katakan.

Ivy tidak akan meninggalkan Ravin, oh ayolah. Bahkan Ivy akan selalu berada di samping Ravin, namun nanti, menunggu waktu yang tepat.

"Aku gak akan pergi, Vin. Kamu harus tau kenyataannya kalau aku emang gak akan pergi. Aku selalu ada di sini, gak ada niat untuk meninggalkan kamu," ujar Ivy menyakinkan.

"Apa yang harus aku percaya? Semua manusia bisa berdusta, semua manusia bisa berperilaku semena-mena. Bukannya aku gak yakin sama kamu, Vy. Tapi seperti yang kamu ucapkan tadi, keluargamu bisa melakukan banyak hal, salah satunya adalah memisahkan kamu dariku."

Benar juga, keluarga Ivy bisa memisahkan Ivy dan Ravin dengan mudahnya, apalagi mengingat keluarga besar Ivy yang tinggal di mana-mana. Pasti bisa dengan mudahnya Ivy dititipkan ke sana. Tapi Ivy harus meyakinkan dirinya sendiri. Ia tidak mungkin dipisahkan dari Ravin. "Enggak, aku yakin kalau kita gak akan terpisah, lagipula kita masih percaya sama takdir, kan? Kita akan selalu bersama, Vin. Takdir akan mengubah segalanya."

Ravin menggeleng. Ravin masih tidak tenang. Ravin masih tidak percaya. Ravin takut dan trauma. Ravin tidak ingin ini semua terjadi, Ravin tidak ingin apa yang ada di benaknya benar-benar terjadi.

"Vy ...."

"Vin ... percaya sama semuanya. Percaya kalau emang kita ditakdirkan bersama. Aku, kamu, dan semua kisah kita itu udah ada yang atur, kamu jangan khawatir."

Memang manusia itu ajaib, ya. Mereka bisa meyakinkan banyak orang, tapi mereka tidak bisa meyakinkan diri mereka sendiri. Mereka bisa mengungkapkan banyak hal kepada orang lain, tapi mereka tidak mampu mengucapkan hal yang sama.

Sama seperti Ivy, Ivy baru saja berusaha meyakinkan Ravin, tapi ia sama sekali tidak tahu kalau hatinya tidak yakin. Hatinya terus merasakan ada hal yang memang akan terjadi, entah apa.

"Kalau kamu pergi gimana?" tanya Ravin sambil memalingkan wajahnya, pikirannya terus berkecamuk, antara firasat dan kalimat yang Ivy yakinkan pada dirinya sendiri.

Ivy menunduk. Gadis itu memikirkan apa yang akan terjadi, memikirkan apa yang harus ia jawab juga. "Berhenti berpikiran negatif yang bahkan belum terjadi, dan gak tau akan terjadi atau enggak. Yang terpenting aku udah bilang kalau aku gak akan pergi, bukan?"

Ravin mengalah, benar apa yang diucapkan Ivy, seharusnya Ravin berhenti memikirkan hal negatif yang mungkin hanyalah hasil dari over thinking saja. Ayo Ravin, harus yakin dengan omongan Ivy. Ivy itu berkata jujur.

"Maaf, ayo aku anterin kamu pulang."

***

Ivy yakin kalau keluarganya tidak akan ada yang tahu jika Ivy diantar oleh Ravin, pasalnya kali ini dirinya dan Ravin menggunakan mobil Kayla.

"Makasih, Vin. Kamu langsung pulang, ya! Jangan mikirin yang macem-macem. Jangan ngelakuin hal nekat lagi, kalau ada apa-apa, aku yang akan nyamperin kamu, kamu jangan nyamperin aku. Aku takut sesuatu terjadi sama kamu. Bye! See you!"

"Bye, see you!"

***

Ivy melangkahkan kakinya menuju kamar, gadis itu melihat semua orang berkumpul di ruang kerja Vero, membuat satu pertanyaan di benak Ivy, apa yang mereka lakukan?

Tanpa basa-basi, Ivy juga ikut memasuki ruangan itu. Terlihat di sana ada papahnya di sebelah Opa. Semua keluarga benar-benar berkumpul di sana, pasti ada satu hal yang memang direncanakan mereka semua.

"Seperti yang sudah kita bicarakan tadi bahwasanya kita akan mengatakan kepada Ivy saat makan malam, semuanya tolong tidak mengucapkan ataupun memberitahu Ivy sebelum makan malam," kata Darka dengan sangat tegasnya. Semua orang mengangguk. Ia pun langsung menyetujui apa yang diucapkan Darka.

Apa yang mereka bicarakan?

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang baca part ini!

Apa yang mereka bicarakan?

See you di part selanjutnya untuk mencari jawaban!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now