3. Akuntansi

1.1K 97 54
                                    

Hai, aku kembali lagi!

Happy reading(^^)

***

Setumpuk buku berisi ribuan angka berada tepat di depan mata sosok pria tampan yang sedang memahami hitungan demi hitungan. Lembar demi lembar berhasil ia cermati dengan waktu yang cukup lama. Tegukan demi tegukan air putih sudah ia minum dengan gusar karena terlalu frustrasi menghitung.

"Ravin makan dulu, Nak!" teriak Sella dari ruang makan.

Ravindra Atmawidjaya Pratama, sosok pria tampan yang sedari tadi fokus terhadap dunianya sendiri—menghitung. Ravin, pria tersebut kerap dipanggil Ravin.

Ravin menjatuhkan pulpennya. Buku buku yang sedari tadi terbuka, ia tutup dan tumpuk dengan rapi. "Iya, Bu."

Ravin keluar dari kamarnya, menuju meja makan. Rumah kecil yang sangat sederhana tak pernah lepas dari pikirannya. Ia harus sukses, ia harus memberikan rumah yang jauh lebih pantas daripada ini.

"Bu, gimana nilai Ravin?" tanya Ravin sopan.

Sella tidak sengaja menjatuhkan sendok membuat dentingan antara sendok dan piring terjadi. "Masih sama seperti biasa. Nilai ilmu pengetahuan alammu jauh lebih tinggi daripada nilai jurusan akuntansi lainnya," jawab Sella kecewa.

"Kamu harus fokus, Ravin! Kamu harus menjadi seorang akuntan. Setelah tamat SMK kamu harus daftar STAN supaya kamu kuliah tanpa mengeluarkan biaya. Kamu harus sukses, Ravin. Kamu harus berhasil. Buat keluargamu bangga. Kamu masih punya mimpi jadi dokter? Kamu mau kuliah negeri? Keluargamu gak punya uang, Nak. Kubur mimpimu jauh-jauh. Bangkit, dan bermimpi seadanya," ucap Sella membuat Ravin menggerutu dalam hati. Apa salahnya bermimpi?

"Iya," jawab Ravin pasrah.

Terlahir sebagai anak dari keluarga sederhana memang cukup menyulitkan. Kisah Ravin bukan seperti kisah orang kaya yang menjadi cerita di wattpad. Bukan pula sinetron yang ditampilkan di layar televisi. Ini hidup nyata. Ravindra Atmawidjaya Pratama dengan hidupnya yang tanpa pilihan.

Tak ada kata memilih dalah kamus hidup milik Ravin. Keputusan orang tuanya adalah keputusan final dalam setiap langkah kehidupannya. Mimpinya harus terpendam karena masalah biaya.

"Sudah selesai belajarnya belum?" tanya Gilang yang sedang berjalan menghampiri meja makan.

"Ravin sudah belajar, Yah. Lagi makan, tadi disuruh ibu makan," jawab Ravin apa adanya.

"Bagus, Ravin! Kamu peringkat lima pada semester ini, tidak cukup bagus. Tapi ayah mohon sama kamu, kamu harus rajin belajar, Nak. Kamu harus sukses, buat orang tuamu bangga. Kamu harus punya nilai sempurna di setiap nilai hitungan!" ujar Gilang memberikan sifat ambisius kepada Ravin.

Ravin mendecak pelan. "Kepandaian seseorang tidak dilihat dari nilai hitungannya, Yah."

Gilang mengubah pandangannya dengan serius. "Pokoknya nilai kamu dalam setiap pelajaran hitungan harus sempurna!" ucapnya final.

Ya itulah keluarga Ravin. Mendewakan angka. Menurut mereka, seseorang dapat dikatakan pandai jika mendapatkan nilai sempurna di mata pelajaran matematika. Menurut mereka, hidup sebagai akuntan adalah hidup yang semua orang idam-idamkan.

Ravin menghabiskan makanannya dengan cepat. Setelah makanannya habis ia mencuci piring, lalu pergi ke kamar. Direbahkannya tubuh yang lelah. Kasur tipis yang hanya cukup digunakan oleh satu orang selalu menemaninya tidur. Pikirannya melayang pada masa depan. Apakah ia akan menjadi akuntan yang keluarganya harapkan?

"Mas Ravin!" panggil seorang gadis mungil yang sedang berlari ke arahnya.

"Kenapa, Dar?" tanya Ravin kepada gadis tersebut.

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now