14. Pertengkaran

371 49 7
                                    

Ivy menghentakkan kakinya karena merasa sebal dengan Natasya, mengapa Natasya selalu egois? Mengapa Natasya selalu lebih sempurna darinya? Pernah merasakan menjadi seseorang yang seolah-olah paling rendah di muka bumi ini? Pernah merasakan menjadi seseorang yang sepertinya tidak memiliki kelebihan apapun?

Ivy tidak munafik, ia iri kepada Natasya. Gadis yang sedang memanyunkan bibirnya itu iri dengan salah satu saudaranya yang paling sering dielu-elukan. Bisakah Ivy merasakan seperti Natasya? Bisakah Ivy ada di posisi di mana Natasya berada saat ini.

Ivy juga butuh kepercayaan keluarga. Ivy juga bisa melakukan semua yang Natasya lakukan, ya walaupun tidak sesempurna Natasya. Tapi, apakah tidak ada kesempatan untuk Ivy?

Jika Ivy bersalah semuanya harus Natasya yang urus, jika Ivy melakukan kesalahan maka Natasya yang disuruh maju paling depan, padahal Ivy bisa menyelesaikan itu semua sendiri. Padahal Ivy bisa menangani masalah Ivy sendiri.

Apa Ivy seburuk itu sampai-sampai keluarga berpikir Ivy tidak bisa melakukannya? Apa Ivy seburuk itu sampai keluarga tidak bisa mempercayai Ivy? Apa benar seperti apa yang diucapkan Natasya kalau Ivy adalah biang masalah?

TING!

Lagi-lagi notifikasi ponsel Ivy berbunyi membuat Ivy melihat apa isi notifikasi tersebut.

Anastasya Shena: Vy, sorry yang tadi, gue cuma mau bantuin lo. Lo bisa telepon atau video call?

Sylvia Ivy: Gapapa, kan emang kenyataannya gitu, gue cuma bisa jadi biang masalah di keluarga besar, gak kaya lo yang selalu menjadi otak keluarga, nyelesein semua permasalahan keluarga. Gue tau kok, Nat. Gue tau kalau sampai kapanpun gue sama lo akan tetap seperti ini, ibaratnya lo langit gue bumi. Mau ngomong apa? Gue rasa gak ada yang perlu dibahas.

Ivy sebenarnya capek terus-menerus seperti ini, Ivy sebenarnya ingin seperti remaja pada umumnya, bisa bermain sebahagia mereka, bisa enjoy menjalani hidup, bisa bermain ke sana kemari sesuai dengan keinginan mereka tanpa memikirkan betapa kerasnya didikan keluarga.

Apa keluarga Ivy akan seperti ini terus-menerus? Apa Ivy juga harus seperti ini kepada anak Ivy nantinya? Ivy tidak mau jika keturunannya nanti merasakan kerasnya hidup seperti apa yang ia rasakan.

Anastasya Shena: Penting, mau enggak mau semua masalah harus diselesaikan. Mau enggak mau lo harus minta maaf sama Tante Vanya sama Om Vero juga. Mereka cuma pengen yang terbaik buat lo.

Sylvia Ivy: Telepon atau video call aja, terserah lo.

Ivy langsung mendapatkan telepon dari Natasya, gadis itu memencet tombol hijau dan menariknya ke atas untuk menjawab teleponnya.

"Halo!" Terdengar suara Natasya yang langsung menyapa.

Ivy diam sejenak, gadis itu menetralkan perasaannya, ada rasa yang mengganjal saat setiap kali Natasya menjadi penengah di antara masalahnya. Ivy tidak munafik, ia ingin menjadi Natasya, menurutnya Natasya adalah gadis sempurna. Kadang ada situasi di mana Ivy benci dengan Natasya, argh bukan benci pada orangnya, namun benci pada situasi.

Ivy benci di mana Natasya terus menjadi segalanya dan Ivy hanya diam di tempat menerima semua perlakuan keluarga. Ivy sadar, ia harus buang semua perasaan itu, ia harus buang perasaan benci terhadap situasi, apalagi menyangkut Natasya yang notabenenya adalah saudari Ivy.

"Iya?" Ivy menyahut.

"Jadi gimana masalahnya? Lo berantem lagi sama Tante Vanya? Lo bolos dari tempat les?" tanya Natasya yang Ivy yakin ia mencari jawaban terbaik.

Ivy mengangguk, walaupun ia yakin Natasya tidak mampu melihat anggukannya itu. "Iya, berantem lagi. Gue lagi capek, lagi banyak pikiran, makanya gue putusin untuk bolos, lagian bolos satu jam doang," bela Ivy pada dirinya sendiri.

Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon sana. Ivy tahu jika Natasya lelah dengan tingkahnya yang selalu membuat masalah. Ivy tahu Natasya juga lelah karena urusan kuliah yang mampu membuat kepalanya berdenyut sakit.

"Bukan masalah satu jam, dua jam, ataupun bahkan tiga puluh menit, Vy. Masalahnya lo ada di tempat les, tapi pikiran lo melayang gak tau ke mana, itu namanya sia-sia, itu namanya mubadzir. It's okay kalau lo bolos satu jam, kasarnya izin gitu, dengan catatan lo udah menyelesaikan semua tugas, lo udah paham sama materi yang emang harus diselesaikan hari itu juga." Natasya menjeda ucapannya, gadis itu memilah-milah kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Ivy yang menurut Natasya masih labil.

"Tapi ini kesalahan fatal, Vy. Lo di sana dateng, duduk berjam-jam, lo gak memperhatikan apapun, tugas yang bahkan masih ada caranya di papan tulis aja belum lo pahami. Itu namanya bukan bolos satu jam, tapi lo buang-buang waktu," imbuh Natasya dengan suara geram.

Ivy merotasikan bola matanya sebal, gadis itu tidak paham sama sekali tentang apa saja isi otak Natasya. Mengapa Tuhan menciptakan Natasya sedetail itu? Ivy jadi minder dibuatnya.

"Lanjutin ceramahnya, gue masih kuat dengerin kok," sahut Ivy yang sengaja membuat Natasya sebal.

"Lo bisa gak sih setiap kali diomongin yang bener itu introspeksi diri, bukannya ngebantah, apalagi ngatain kalau itu ceramah. Lo gak bisa kaya gini terus, Vy. Lo harus berubah, lo harus bisa menjadi lebih baik. Di keluarga besar gak ada sejarahnya ngebantah orang tua apalagi gak ikut omongan orang tua ya, cuma lo yang kaya gitu. Artinya apa? Artinya lo sampah keluarga." Natasya tak dapat bersabar sedikit lagi, gadis itu sudah terlanjur sebal dengan Ivy, oleh karena itu tidak menyaring apapun yang ia ucapkan.

Sampah keluarga, okay. Ivy adalah sampah keluarga. Ivy adalah pembangkang di keluarga. Ivy adalah anak durhaka. It's okay. Bukankah itu semua benar? Bukankah apa yang diucapkan Natasya selalu benar?

"Iya gue emang sampah keluarga, kan lo berliannya. Kita kan beda derajat, Nat. Lo lupa ya? Setiap kali lo berbuat kesalahan, keluarga selalu memaafkan, sedangkan saat gue buat kesalahan, gak ada yang mau memaklumi. Lo tau gak apa yang ada di pikiran gue saat ini? Gue benci lo, karena sampai kapanpun apa yang gue perjuangin buat keluarga gak akan ada harganya, karena keluarga selalu melihat ke arah lo. Gue benci kenyataan kalau lo adalah saudari gue, rasanya gue pengen lo gak bahagia. Tapi gue selalu punya pikiran positif, gue menampik semua itu, karena apa? Karena gue masih punya rasa kekeluargaan."

Ivy menjeda ucapannya. Gadis itu gemetar, mulutnya kelu, napasnya tersengal-sengal, pikirannya melayang, over thinking.

"Lo pengen tau gimana rasanya jadi gue? Gue selalu menjadi prioritas terakhir, karena selalu lo yang jadi utama. Gue iri sama lo, Nat. Gue iri sama lo yang selalu mendapatkan apapun yang lo mau, termasuk kasih sayang dan kepercayaan keluarga. Bertahun-tahun gue perjuangin itu semua, bertahun-tahun gue berjuang untuk mendapatkan posisi itu, tapi dengan mudahnya lo yang dapet itu semua."

"Mulai detik ini, gue benci sama lo, Anastasya Shena Adipati."

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam buat kalian semua yang baca cerita ini!

Terima kasih telah mensupport aku sejauh ini, ya! Aku sayang kalian(^^)

Maaf slow update lagi, karena aku lagi sedikit gak enak badan. Dimaafin, kan?

See you(^^)

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now