29. Ivy Ngambek

287 42 0
                                    

Ivy sedang berada di meja makan, menikmati sarapan dengan keheningan. Dari tadi papah dan mamah sama sekali tidak bersuara, membuat Ivy masih menerka-nerka apa keputusan mereka. Ivy masih belum tenang, ia masih memikirkan keputusan terburuk yang akan terjadi.

"Jauhi Ravin."

Bagai disambar petir di siang bolong, Ivy langsung memelototi papahnya dan meminta penjelasan yang kompleks.

"Apa maksud papah? Aku gak mau. Jangan egois lah, Pah. Selama ini aku udah nurut semua kemauan kalian, tapi kenapa kalian selalu menuntut aku sih?" Ivy menggigit lidahnya sendiri. Gadis itu tidak mau menangis lagi, sudah cukup seharian penuh ia menangis.

"Ivy duduk dulu, papah pasti punya alasan logis di balik ini semua," ujar Vanya, pasalnya Ivy langsung berdiri saat Vero mengucapkan seperti itu.

"Ini demi kebaikan, Ivy." Tidak, Ivy sama sekali tidak percaya jika ini semua demi kebaikan. Mana ada kebaikan yang menyakitkan? Tidak ada. Sudah cukup Ivy menuruti semua keinginan keluarga. Tidak akan ada lagi Ivy yang penurut.

"Bohong!" seru Ivy dengan keras. "Semua yang papah omongin bohong! Mana ada kebaikan yang menyakiti hati Ivy? Gak ada, Pah. Papah kenapa egois banget sih? Papah kenapa gak ngertiin Ivy? Sampai kapan Ivy harus kayak gini, Pah? Sampai kapan keinginan Ivy harus ditentang?"

Vero tidak berani menatap putrinya. Ia takut putrinya kenapa-kenapa. Ia takut putrinya nekat. Kenapa Vero harus sebejat ini sampai tidak bisa mengabulkan permintaan Ivy?

"Sampai kapanpun Ivy gak mau kalau Ivy harus menjauh dari Ravin. Untuk saat ini, Ivy mau egois. Ivy gak mau menuruti apa kemauan dan keputusan papah." Ivy mengambil ponselnya dari ransel biru muda miliknya. Gadis itu langsung menaiki anak tangga satu-persatu.

Sudah tidak ada lagi keinginan untuk sekolah. Ivy sudah malas. Pagi yang buruk untuk memulai sesuatu yang baik.

Pada tangga ketiga saat ia sedang menaiki tangga, Ivy menoleh kembali ke belakang. "Ivy gak mau berangkat sekolah. Ivy gak mau berangkat les. Ivy gak mau nurut lagi sama mamah sama papah," ujarnya pundung.

Ivy langsung kembali menaiki anak tangga yang melingkar. Ia membuka pintu dan langsung menutup dengan keras. Tubuhnya lemas, dan langsung terjatuh di sofa kamar.

Sampai kapan semua keinginan Ivy harus ditentang seperti ini? Sampai kapan keinginan Ivy harus dikaitkan dengan peraturan keluarga seperti ini?

"Argh!"

***

Vanya yang mengerti keadaan suaminya langsung memeluk tubuh suaminya itu. Ia paham kalau semua ini sangat berat. Keputusan ini pasti menyakitkan hati Vero juga.

"Kenapa keputusan aku selalu salah ya, Van?" racau Vero dengan tubuh yang gemetar.

Vanya tahu. Pasti Vero sedang sakit hati dengan ucapan Ivy. Vanya tahu pasti Vero menginginkan yang terbaik untuk Ivy. "Gak salah kok, Mas. Benar, benar banget malah. Kamu berhak memutuskan apapun. Kamu berhak untuk taat aturan. Aku tau keputusan ini pasti berat, kamu pasti dilema. Tapi yang harus kamu tau juga, Ivy juga pasti berat, berat menerima keputusan ini. Ivy juga pasti terluka dan sakit hati, itu pasti. Kamu sabar aja ya, Mas? Pasti semua bakal ada jalan keluarnya."

***

Ivy menjambak rambutnya sendiri. Sudah banyak linangan air mata yang jatuh, matanya sudah lelah menangis, tubuhnya sudah lelah. Kenapa menjadi dewasa menyakitkan? Ada banyak sekali masalah yang menimpa.

Napas Ivy memburu, Ivy sampai memukul berkali-kali dadanya yang sesak. Ini menyakitkan. Ini sungguh menyakitkan. Rasanya benar-benar seperti ditikam ribuan belati, rasanya benar-benar membuat hati Ivy tersayat.

"Kenapa, Pah? Kenapa papah egois banget sama Ivy? Apa emang Ivy gak berhak bahagia? Kenapa papah selalu menolak kebahagiaan Ivy? Apa kebahagiaan Ivy selalu menjadi opsi terakhir? Apa peraturan keluarga selalu menjadi opsi pertama? Sakit, Pah. Sakit banget."

Dada Ivy benar-benar sesak, napasnya memburu juga. Mata Ivy memerah, memanas. Hidung Ivy tersumbat. Lidah Ivy kelu, tak tahu lagi harus berbicara apa. Memang menyakitkan sekali rasanya.

Ivy meremas seragam sekolahnya. Ia meraung, menangis sejadi-jadinya. "Hiks, hiks ... kenapa?"

***

Ravin yang sedang berada di kantin sekolahnya bingung sekali, pasalnya dari semalam Ivy belum mengabarinya lagi. Semalam hanya dua pesan yang masuk, pesan yang mengatakan ia baik-baik saja dan pesan yang mengatakan permintaan maaf.

Barusan Kayla mengirimkan pesan kepada Ravin kalau Ivy tidak berangkat sekolah. Ravin menjadi takut kalau Ivy sedang tidak baik-baik saja. Ravin semakin takut kalau Ivy sedang terluka. Pasti karena pertentangan keluarga.

"Lo ada masalah apa sih? Kok dari tadi diem mulu, kayak banyak pikiran aja." Bening yang dari tadi memperhatikan Ravin langsung paham kalau pria itu sedang ada masalah.

Aksa yang berada di hadapan Ravin pun langsung menoleh, menatap ke arah Ravin. "Lo ada masalah? Masalah apa emangnya?"

Ravin menghela napasnya gusar. "Ya gitulah, kemarin gue sama Ivy lagi ke toko kue, kita ketemu sama orang tua Ivy, dan akhirnya kita ketauan sama orang tuanya Ivy. Dia ditarik pulang, kita ditentang kayaknya deh. Terus tadi kata Kayla, Ivy gak masuk sekolah."

"Gara-gara lo bukan dari keluarga dokter?" tebak Aksa yang tentunya seratus persen benar adanya.

Bening langsung terdiam. Ia pasti paham bagaimana keras kepalanya keluarga Ivy. Ivy yang tidak mau menjadi dokter saja ditentang apalagi pria yang akan bersama Ivy, pasangan Ivy.

"Ya udahlah, gapapa. Mungkin emang gue bukan takdirnya sama Ivy," kata Ravin putus asa. Sontak Bening menatap tajam ke arah Ravin.

"Lo gak boleh putus asa dong, Vin. Di rumah Ivy, dia pasti lagi memperjuangkan lo. Lo harus semangat, lo harus buktiin ke keluarga Ivy kalau lo bisa membahagiakan Ivy. Lo harus buktiin kalau bukan hanya dokter yang dunia ini butuhkan, tapi seorang akuntan pun dibutuhkan!" tegas Bening.

Benar, seharusnya Ravin tidak putus asa dan tidak menyerah seperti ini. Pasti di sana Ivy sedang memperjuangkan hubungan mereka berdua. Pasti Ivy sedang meyakinkan keluarganya.

Ravin manggut-manggut paham. "Thanks, gue gak akan nyerah, gue gak akan pasrah, gue pasti bisa buktiin ke keluarga Ivy kalau gue pantas."

***

"Apa? Ivy pacaran sama cowok yang bukan dari keluarga dokter? Gak, itu gak boleh terjadi. Kita harus ke Jakarta sekarang. Kita gak boleh membiarkan peraturan keluarga kita hancur, Tifanya. Kita harus menentang keras hubungan Ivy dengan cowok itu!" seru Darka dengan lantang. "Siapkan penerbangan ke Jakarta, sekarang juga! Ivy benar-benar keras kepala, tidak akan kubiarkan dia menghancurkan peraturan yang sudah kubuat sedemikian rupa."

"Mas, tapi kamu jangan emosi ke Ivy, Ivy pasti masih sangat lemah. Ivy pasti masih membutuhkan penyemangat."

"Tidak, Tifanya."

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang sudah membaca part ini! Semoga kalian suka dan enjoy ya!

Hayoloh gimana endingnya?

See you di part selanjutnya!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

MIPA VS AKUNTANSIWhere stories live. Discover now