28. Perseteruan

275 36 0
                                    

Vero sedang menimang-nimang keputusan apa yang akan ia ambil. Antara peraturan keluarga yang memang harus ia turuti atau masa depan putrinya. Setelah mendengar alasan Vanya, Vero menjadi lebih mempertimbangkan dan memikirkan.

Benar, cinta itu tidak bisa dipaksa untuk siapa. Mau dengan dokter, akuntan, atau lainnya yang namanya cinta tetaplah cinta. Sudah tidak bisa dihitung dengan jari lagi seberapa sering Vero mengacak rambutnya dan merasakan kepalanya sangat berat.

"Apa yang harus aku lakukan?" Pertanyaan itulah yang selalu Vero ucapkan sejak tiga puluh menit lalu.

Saat ini Vero sedang berada di ruang kerjanya. Pria itu sedang memikirkan semuanya. Mengapa masalah selalu datang di kehidupannya?

TOK TOK TOK!

Suara ketukan pintu langsung membuat Vero mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah pintu tersebut. Selang beberapa waktu, istrinya datang dengan satu cangkir teh manis hangat.

"Diminum, Mas. Aku tau kamu lagi banyak pikiran," ujar Vanya penuh pengertian.

Vero tersenyum manis dan langsung meneguk teh tersebut. "Aku harus berbuat apa ya, Van?" tanya Vero yang meminta pendapat.

Vanya langsung mengelus pelan bahu suaminya, wanita ayu itu tersenyum dan menguatkan Vero. "Apapun yang memang kamu yakini adalah suatu kebenaran. Kamu harus berani mengambil langkah tersebut, walaupun memang yang kamu yakini adalah menentang hubungan Ivy dan Ravin. Setidaknya kamu tidak berbohong mengenai keyakinan kamu sendiri."

"Lebih terbuka dan menerima hasil pemikiran sendiri," lanjut Vanya.

"Kalau aku nentang Ivy, apa dia akan marah ke aku?" tanya Vero lagi.

Vanya menaruh beberapa camilan di meja kerja suaminya. Wanita itu melangkahkan kakinya ke sofa dan mendaratkan tubuhnya di sana.

"Marah, pasti. Kecewa juga pasti. Anak mana yang gak marah, gak kecewa, dan gak sakit hati karena ditentang orang tuanya? Kayak yang udah aku omongin tadi, Mas. Cinta itu gak memandang apapun, kalau memandang apapun itu bukan cinta namanya. Untung aja dulu aku seorang dokter makanya kita bisa bersama sampai sekarang, kan? Kalau aja dulu aku bukan dokter, kita udah ditentang."

"Gimana perasaan kamu kalau kita ditentang, gak diterima oleh keluarga? Gak disukai oleh satu keluarga besar? Disuruh putus, disuruh meninggalkan orang yang kita suka?" tanya Vanya memberikan sebuah penggambaran. "Pasti rasanya gak enak, Mas."

Vero mengangguk, membenarkan ucapan istrinya itu. Benar, pasti rasanya sangat tidak enak. Dirinya saja tidak bisa membayangkan bagaimana jika dulu hubungan mereka berdua ditentang.

"Tapi kalau menurut kamu aturan adalah aturan yang sama sekali tidak bisa ditentang, tidak bisa dilanggar, aku ikut apa yang kamu yakini. Kamu itu imam keluarga. Kamu itu yang berhak menentukan dan mengambil keputusan."

Pusing.

Pening.

Bingung.

Semua keputusan sama sekali tidak bisa Vero bayangkan. Sepertinya Vero ingin tidak menjawab dan memutuskan hal ini. Sepertinya Vero ingin hal ini sama sekali tidak terjadi di kehidupannya.

***

Ivy masih menangis sesenggukan di kamarnya. Sudah setengah pack tisu ia habiskan demi mengelap air mata. Mata Ivy pun rasanya benar-benar sipit, hidungnya memerah, linangan serta jejak air mata tentunya terlihat sangat jelas.

"Apa yang harus aku omongin ke Ravin? Aku takut Ravin marah dan gak mau maafin aku," batin Ivy.

***

MIPA VS AKUNTANSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang