Athena 28.

635 35 1
                                    

"Masih punya muka lo sekolah disini?!" tanya Rani sambil mendorong pundak Sena hingga gadis itu sempat mundur beberapa langkah. Sena hanya bisa diam, menjelaskan pun percuma. Karena orang-orang tidak akan mempercayainya lagi.


"JAWAB GUE! MASIH PUNYA MUKA LO?! TEBEL AMAT TUH MUKA?! MALU DONG HARUSNYA! LO ITU UDAH MALING DISINI! JANGAN SAMPE LO NYARI MANGSA BARU DISINI!"

Sena mengangkat kepalanya cepat, ingin rasanya ia membalas tapi orang-orang tidak akan memberi kesempatan untuknya.

"Gue bukan maling. Harus berapa kali gue bilang?" tanya Sena jengah. Rani berdecih sinis,

"Ya elah, maling mana ada yang ngaku?"

"Udah lah, bawa dia ke ruang BK aja sono!"

Sena menghela nafas panjang, lalu meremat tali tasnya yang ia gendong di punggung, "Terserah kalian aja deh sekarang. Yang jelas, gue gak ngambil uang Farah. Dah itu aja. Gue bukan maling seperti yang kalian bilang." tajamnya.

Sena berbalik badan, lalu memilih untuk pergi dari kelas. Ia lebih baik pulang saja daripada harus diserang dengan beberapa umpatan kasar untuknya.

"Kamu kenapa sih? pagi-pagi murung begitu," tanya Rachel saat selesai menaruh roti selai cokelat di atas piring Athala. Athala menggeleng saja, lalu mulai melahap roti panggang dengan selai cokelat di tangannya.

"Mikirin Sena ya?" tanya Rachel tepat sasaran. Athala menaruh rotinya dan meneguk susu vanila hingga setengah,

"Atha masih gak nyangka aja sebelumnya. Jujur aja, Atha malu, ma." kata Athala sambil menghela nafas kecewa,

Kening Rachel mengernyit dalam, "Maksud kamu gimana?"

"Ternyata Sena udah ngambil uang temennya. Sumpah, Atha gak nyangka. Atha juga malu,"

Rachel terdiam. Masa iya Sena yang baik hati, jujur dan ramah itu mengambil uang orang lain? Rachel tidak percaya, sungguh.

"Jangan mudah percaya, Tha. Pasti ada yang merencanakan sesuatu dibalik itu semua. Bukan Sena yang ngambil. Kamu harus percaya sama Sena. Karena mama yakin, Sena itu anak yang baik. Tidak mungkin mengambil apapun yang bukan milik dia."

Athala bingung, entah ia harus bagaimana. Ia sudah memarahi Sena habis-habisan kemarin. Pesan masuk dan panggilan masuk dari Sena tak ia balas dan tak ia angkat. Ia juga sebenarnya tidak percaya dengan berita itu. Apakah benar Jenia yang merencanakan ini semua?

Sena mengusap air matanya di pipi dengan kasar. Ia kesal dengan semua ini, semua orang menuduhnya pencuri. Mereka hanya salah paham. Semua orang bahkan sudah tak percaya dengan dirinya lagi.

Saat ini, gadis bertubuh mungil itu sedang berjalan menyusuri trotoar yang ada di pinggir jalan raya ibu kota. Kedua tangannya terus meremat tali tas yang digendongnya. Air mata yang mengalir di pipi Sena pun perlahan mengering.

Sena ingin mengunjungi makam Ayahnya, ia rindu sekali. Sudah beberapa hari ia tidak mengunjunginya lagi.

Tanpa Sena sadari, ada sosok laki-laki mengikutinya dari belakang. Sampai akhirnya Sena sampai di tempat pemakaman umum yang ada di kota itu,

Athena [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang