56| My Greatest Hope

4K 444 178
                                    

Kalian masih bangun?



Selamat membaca ya

Sudah berapa lama kau menikmati beban yang sedang kau lewati? Bagi Aera, wanita yang sedang duduk melemah di atas kursi rodanya, rasanya sudah cukup untuk menikmati setiap pelik yang menyentuh hatinya, sudah cukup untuk tersenyum dikala hujaman yang menimpa hidupnya.

Semesta punya banyak cara untuk menyatukan dirinya dengan Jimin.

Tidak ada lagi kata itu. Aera menarik lagi semua perkataan yang membanggakan semesta. Nyatanya saat ini, dia kembali dipisahkan oleh Jimin. Aera ingin berteriak! Dia tidak suka cara semesta bermain-main padanya, padahal sejak dulu ia selalu meyakini betapa semesta sudah sangat baik kepadanya. Namun sepertinya, kali ini tidak lagi, Aera merasa dikhianati oleh semesta.

Sudah keberapa kalinya? Sejemang dia kembali tenggelam masa lalunya yang ternyata setiap bagian ceritanya selalu ada kepelikkan, tidak pernah sedikit saja bagian-bagian dalam hidupnya meninggalkan kenangan terindah saat bersama Jimin. Termasuk saat ini, Aera belum merasakan momen terbahagia bersama Jimin selama dia ditinggal dalam tugas wajib militer.

Aera bahkan sudah lupa bagaimana rasanya berdegup hingga melayang hanya karena senyuman Jimin yang selalu istimewa baginya. Sudah berapa lama dia terpisah dengan Jimin? Sudah berapa lama pula mereka tersiksa karena amnesia yang ia alami?

Sungguh!
Aera benci sekali cara semesta mengajaknya untuk bercanda.

Terlebih lagi, dia membenci dirinya yang membiarkan kejadian semacam ini terulang lagi. Setelah Kyung Ji, mengapa harus Jimin? Bukankah terlalu kejam untuk dirinya? Keduanya adalah orang tersayang. Jika dipikir lagi, mungkin beginilah cara semesta menebus keganasannya kepada Aera. Berawal membiarkan Aera kehilangan Kyung Ji bersama ingatannya, lalu ditebus dengan menyakiti Jimin untuk menjadi pemicu kembalinya segala memori yang sempat sembunyi entah dimana. Namun, bagaimanapun, alih-alih bersujud syukur karena dia kembali sembuh dengan mengingat segakanya, Aera justru semakin terpuruk dalam kehampaan.

Dia semakin kosong dan hancur.

Tiada hari tanpa menangisi Jimin dan dirinya sendiri. Tidak ada lagi Aera dengan senyum paling ceria yang selalu disukai oleh Jimin.

"Yoon Aera.. Sudah seminggu kau seperti ini. Tidak ingin keluar? Tidak ingin menemui Jimin?" Seseorang datang tepat di belakang kursi rodanya. Aera jelas tahu siapa pemilik suara yang setiap hari menghampiri kamarnya, lalu memohon agar dirinya kembali bangkit untuk meneruskan apa yang masih diperjuangkan.

"Aera.."

"Aku akan menunggu sampai Jimin siuman." Aera lantas manjawab dengan cepat, tanpa menoleh ke belakang, melihat Allina yang sudah menyeka air mata.

"Mungkin dengan bersamamu, Jimin akan sembuh. Kau harus melihatnya sesekali."

"Mungkin? Kau saja ragu, Allina." Aera terkekeh frustasi. "Aku tetap disini. Jauh lebih baik jika aku tidak berada di dekat Jimin."

Allina mengembus napasnya sedikit kasar. Aera masih sama seperti beberapa hari yang lalu, begitu sensitif dan selalu menyalahkan diri sendiri. Bagi Aera, kecelakaan ini terjadi karena dirinya, itulah mengapa dia enggan menemui Jimin yang masih berada di ruang ICU selama seminggu ini.

"Aera, kau sudah membaca ulang isi surat yang ingin Jimin berikan kepadamu?"

Aera tak bergeming, masih membisu menatap kaca besar yang menjadi salah satu sisi kamar rumah sakit, tempat dimana dia masih dirawat.

"Di dalam surat itu, Jimin sangat menghargai keputusanmu. Kurasa saat ini, Jimin juga menginginkan hal itu, dia ingin kau menghampirinya karena keputusanmu, bukan karena sebuah paksaan. Jadi aku akan berhenti memaksamu lagi, kau bisa memikirkan kembali. Tapi bukankah lebih baik secepatnya keputusan itu ada?" Allina melepas genggamannya pada kursi roda. Lalu dia menjauh dari Aera.

HITCH ✔️Where stories live. Discover now