melepas

46 11 1
                                    

Hayok ada yang kangen nggak ni?

Author kembali publish

Happy reading pren

Jika dengan melepas mu bisa mengobati luka ku
Akan kah ku pilih jalan lain?
_Hanah Clarisa lovana_

Di temani semilar angin yang berhembus pelan serta bulan di atas sana, sosok gadis dengan mantel hitam nya itu terduduk dengan pandangan lurus ke depan

Belakangan ini menatap lurus ke depan menjadi kebiasaany yang tak lepas darinya. Keindahan bulan pun tak berhasil menarik fokus Hanah.

Benda pipi sedari tadi ia genggam. Sekali lagi ia menekan nomor Fathan disana, ingin menghubungi pemuda itu, namun rasanya begitu berat, apalagi saat ia melihat Fathan tertawa lepas bersama Mira sebelumnya

Di mata Hanah, keduanya sangat cocok. Munafik memang jika ia mengatakan tak cemburu.

Rambut panjang nya yang kini telah acak acakan itu kembali ia ikat asal.

"lepas, tidak, lepas, tidak, lepas."Ucap Hanah dengan menghitung jarinya

Hanah berdecak kesal lantas menghitungnya kembali dengan 10 jari. "lepas, tidak, lepas, tidak, lepas, tidak, lepas, tidak, lepas, tidak."

Kini Hanah kembali menekan nomor Fathan dan lagi lagi gagal karena teramat gugup.

"Arrghh...apa sulitnya sih telpon sahabat sendiri?"tanya Hanah pada dirinya sendiri dan tertawa detik berikutnya

"halo"


Suara dari handphonenya itu membuat Hanah tersontak kaget hingga menjatuhkan bendah pipi tersebut. Apakah ia tak sengaja menekan tombol panggilan?

"Aaish, dasar ceroboh."cicit Hanah pelan sambil mengambil handphonenya yang terjatuh

"halo. Siapa ya?"

"Hanah, kamu yang nelpon kok nanya siapa?"

Jawaban Fathan membuat Hanah tepuk jidat

"kenapa?"

Hanah menghembusan nafas panjang, lantas menutup kelopak mata yang membuat semuanya gelap seketika.
Setelah memantapkan hatinya kini Hanah kembali membuka matanya

"oke, mungkin belum pernah ku katakan. Jujur, aku senang bersama mu, tapi makin lama kesenangan ini berubah menjadi rasa perih.” Hembusan nafas panjang Hanah terdengar begitu jelas bagi Fathan bahkan dari suara Hanah, Fathan sudah tau bahwa kini sahabatnya itu tengah kesulitan menahan tangisnya

"jika kamu di posisi ku, apa yang akan kamu lakukan?"

Cukup lama Hanah menunggu jawaban Fathan namun sampai kini tak ada suara dari sebrang sana. Hanah bahkan menatap handphone nya, memastikan panggilannya masih tersambung

"Ckk...kamu saja bingung, bagaimana dengan ku? Yasudah deh."

"Makasih Fath, atas semuanya. Dan aku minta maaf, aku sering menyusahkan mu." ucap Hanah dengan tempo cepat

"kok bil...."

Belum sempat Fathan berbicara, kini Hanah menyelah

"Bahagia selalu, jika aku masih di hati mu, semogah cepat dapat pengganti dan jika sudah tidak, aku harap semoga pengganti ku jauh lebih baik."

Tak menunggu balasan dari Fathan, Hanah mematikan telponnya sepihak.

Lega rasanya setelah menyampaikan hal itu, memang agak sakit tapi dalam hal ini Hanah hanya bisa melepaskan. lihat saja air mata Hanah yang awalnya setetes kini semakin menjadi

Hanah terisak sembari beberapa kali memukul dadanya yang entah sejak kapan mudah sesak. "selamat tinggal, Fathan."ucapnya di selingi isakan

"Yah, ini lah keputusan paling tepat. Dan aku tidak akan menyesalinya."pungkas Hanah meyakinkan dirinya sendiri

"dasar cengeng."ledek Hanah pada dirinya sendiri dengan tangan mengusap Wajahnya yang sembab

"Aiishh...sakittt,"pekik Hanah sembari memukul mukul dadanya yang kembali sesak. Air matanya saat ini begitu nakal, turun deras tanpa dapat ia tahan

Jika ingin menyalahkan, maka yang pantas di salah kan adalah dirinya sendiri. Kata orang. "Jangan menjatuhkan dirimu dengan cinta buta pada makhluk, sebab makhluk itu hanyalah ciptaan yang bisa di katakan hanyalah aktor yang berjalan sesuai scenario penulis."

Salahkan Hanah yang begitu dalam mencintai sahabatnya sendiri. Salahkan Hanah yang masih melanjutkan perasaan itu kian dalam meski pun tau bahwa ia bagaikan berjalan di taman ranjau "berbahaya sekaligus menyenangkan."

Hanah mengusap kedua bahunya, hawa dingin rasanya menusuk seluruh persendian tubuhnya bersamaan dengan itu, suara derap kaki membuatnya menoleh dan menemukan Edward di sana

"Lagi ngapain?"tanya Edward sembari berjalan menghampiri Hanah dan duduk tepat di samping sang putri. Menatap wajah sembab putrinya membuat Edward rasanya tak enak, sebab sebelumnya ia telah menyuruh Hanah agar meninggalkan kota ini. Pokirnya, Mungkin kah karena itu Hanah menangis?

"jika enggan pergi, nggak usah sayang. Kita punya banyak pengawal dan dan bahkan kita punya beberapa rumah."

Hanah menggeleng. "nggak, yah. Sebelumnya Hanah memang pengen pergi dan aku nangis bukan karena itu Ayah."

Melihat putrinya kembali berderai air mata, Edward langsung memberi pelukan pada Hanah.

"sebelumnya ayah menjadi benteng bagimu untuk melindungi, namun bukan kah kamu pun bisa bersandar di benteng itu?"

Edward melepaskan pelukannya, mencoba menatap mata Hanah. "ingat sayang, sampai kapan pun ayah akan ada untukmu. Walau mungkin nanti saat ayah telah tiada, ayah akan tetap ada untukmu."

Di lain sisi, Fathan masih terpaku dengan kata kata Hanah. Saat ini ia masih begitu fokus menatap handphonenya.

Tanpa sadar setetes air mata kini turun. Pikirnya, akankah Hanah pergi meninggalkannya?

"jika dengan kepergian mu bisa membuat mu bahagia, maka lakukan lah, meskipun itu begitu sakit bagiku.”

_Fathan Al-Farezi_

***

Bagaimana nih part-nya?
Ada yang penasaran, apakah Hanah akan pergi?

Atau ada yang pengen di omongin sama mereka?

Sama Hanah mungkin?

Fathan?

Edward?

Jangan lupa di vote yah

Me Or Your Religion Where stories live. Discover now