33. April Menjelang

288 34 6
                                    

Cairan concealer yang Sara sapukan di bawah kedua matanya tadi pagi tetap tak mampu menyembunyikan sisa kantuknya yang belum tuntas. Mimpi-mimpi buruk yang acak itu membentuk jejak berupa bayangan hitam di bawah kedua matanya.

Selalu lebih mudah untuk berpura-pura sakit lagi dan membolos. Tapi, bulan April yang padat oleh ujian kelulusan sudah begitu dekat dan akan disusul ujian seleksi perguruan tinggi pada bulan berikutnya. Lagipula, Sara membutuhkan keramaian supaya tetap terjaga. Supaya cerita Thalita kemarin—yang terus berdengung di telinganya seperti diucapkan untuk kedua kali—teredam.

Tak banyak yang mampu Sara cerna dari penjelasan Bu Ana tentang hitungan pH pada jam pertama. Ia akan meminjam catatan Rina untuk dipelajari nanti malam. Tanpa banyak protes, Rina mengizinkannya. Namun, yang luput Sara antisipasi adalah tatapan khawatir atau kasihan--Sara sudah tak tahu lagi bedanya--yang diberikan Rina untuknya.

Apa Rina sudah tahu tentang apa yang baru saja Sara alami? Apa orang-orang di sekolah ini sudah tahu? Bukankah orang-orang selalu mengetahui lebih banyak dari yang kita kira?

"Masih pusing, Ra? Gue punya aspirin kalo lo mau," tanya Rina.

Sara benar-benar takut gosip-gosip menyebar. Ia tak mau dikasihani dan sebagian dirinya masih ingin melindungi Dani.

"Gue nggak apa-apa."

"Belum sarapan? Gue bawa sandwich."

Sara bahkan tak merasa lapar sejak kemarin. Dan, perut Sara semakin terasa penuh ketika Bu Ana yang jamnya baru saja habis kembali lagi ke kelasnya. Wanita empat puluh tahunan itu mencari-cari Sara dengan pandangan yang memang hanya tertuju kepadanya.

Bu Ana menyuruh Sara ikut ke ruang guru tanpa mengatakan alasannya sepanjang perjalanan. Ketika mereka duduk berhadapan di salah satu meja, Sara ingat bahwa guru di depannya ini adalah wali kelas Dani.

"Benar, kamu pacaran dengan Dani Adyasta?" tanya Bu Ana tanpa ba-bi-bu lagi.

Sara pandangi bekas sundutan rokok di salah satu lengannya yang sudah tak terlalu kentara. Teringat rasa panas dan nyeri ketika Dani menekankan bara api itu di sana. Itu, memberi Sara kekuatan untuk menggeleng.

"Sudah bukan lagi, Bu."

"Oh, gitu? Sejak kapan?" tanya Bu Ana lebih lunak. Sorot matanya adalah rasa iba. "Seminggu yang lalu."

"Apa mungkin sudah empat hari terakhir Dani nggak masuk sekolah karena itu?"

Sara tak tahu soal itu. Pesan-pesan Dani semakin menumpuk di ponselnya tanpa pernah dibuka. Ia tak mengakses satu pun fitur media sosial. Praktis, gadis itu tak tahu apa apa yang terjadi dengan Dani. Sara berencana untuk tinggal di kelas seharian ini agar tak bertemu Dani.

"Gimana, Sara?"

"Saya tidak tahu, Bu. Saya sudah tidak berkomunikasi lagi dengan Dani setelah putus."

"Sara, kamu tahu, 'kan kalau Dani itu 'bermasalah'?" Bu Ana membuat tanda petik dengan keempat jarinya. "Semenjak berpacaran dengan kamu saya lihat dia jadi lebih baik. Dia udah nggak membolos sesering dulu, mau mencatat pelajaran, rata-rata nilai ulangannya juga meningkat. Kalau masalahnya nggak besar-besar amat cobalah untuk balikan lagi. Kalau Dani yang buat salah. saya akan coba ngomong sama dia untuk minta maaf ke kamu, ya?"

"Ingat, sebentar lagi sudah mau UN. Jangan malah pusing karena drama-drama yang tidak penting. Kamu masih peduli, kan dengan Dani? "

Bu Ana menjelma sebagaimana orang-orang dewasa yang pernah Sara kenal seumur hidupnya, yang membuat Sara semakin enggan mempercayakan apa pun kepada mereka. Orang-orang dewasa selalu saja sok tahu, mengecilkan perasaan dan medan perjuangan orang-orang yang lebih muda. Seolah dunia hanya berputar karena dan untuk mereka.

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang