19. Kawan-Kawan Lama

1.2K 127 16
                                    

Aksa tahu motor bebeknya ini sudah mulai butut. Bunyi knalpotnya mulai aneh sejak seminggu yang lalu. Spionnya sudah diganti dua kali. Ujung-ujung stiker yang membalut bodinya sudah terkelupas entah sejak kapan. Sepulang sekolah kali ini, akhirnya motor itu mogok di tengah jalan. Aksa merapatkan kendaraan roda dua itu ke trotoar. Men-starter berkali-kali demi mendapati mesin motornya itu memang tak mau menyala lagi.

Aksa tahu ada sebuah bengkel kecil tak jauh dari sini. Meski bukan bengkel resmi dan tidak menyediakan terlalu banyak sparepat, tetapi hasil kerjanya dapat dipercaya. Aksa pernah memercayakan motor dan nyawannya ke tangan-tangan yang bekerja di tempat itu berkali-kali.

Kini, rasanya sudah lama sekali Aksa tak pernah ke sana lagi.

Tak punya pilihan, Aksa pun menggiring motornya ke bengkel itu. Ia masih mengingat dengan baik setiap detil dari bengkel ini. Bangunannya yang tak seberapa luas, asap seng yang panas dan berisik tiap kali tertiup angin, noda oli yang belepotan di mana-mana, bau bensin yang membaur dengan bau oli bekas dan karat besi. Juga, baliho merah satu kali satu meter yang digantung di pintu masuk bertuliskan 'Bengkel Motor Reza' dalam huruf-huruf Times New Roman yang kaku itu, yang kini terlihat makin suram dan berlubang di beberapa sisi.

Ada melankoli yang diam-diam menyusupi hati Aksa sebelum melangkah ke dalam.

"Gila!! Kemane aja lu?" ungkap seseorang yang menoleh oleh kedatangan Aksa. Seorang laki-laki dalam kaus abu-abu yang lembab oleh keringat itu, sekaligus alasan dibalik nama bengkel ini.

"Bertapa di gua. Nyari pesugihan tapi tetap aja nggak kaya-kaya," jawab Aksa sekenanya. Ia menyambut uluran lengan Reza dan berpelukan khas laki-laki.

"Lagi banyak kerjaan, Za?"

Aksa memandangi perkakas yang tergeletak di lantai dan sebuah motor yang distandar ganda dengan bodi yang telah separuh dipereteli.

"Biasa anak-anak, belum kenal medan udah'maen gas aja. Ujung-ujungnya ngerepotin gue."

Aksa tahu benar makna 'maen' yan dimaksud Reza. Dulu, Aksa mendengarnya lebih sering daripada omelan Ibu.

Besok maen sama anak Black Wolf ya, Sa.

Lo maennya letoi amat belum makan dua hari?

Maen lo bagus, Sa. Tapi motornya kurang canggih, besok gue pinjemin punya gue. Tapi, kalo menang lo traktir gue makan seminggu.

Dan, masih banyak lainnya.

Reza melirik motor Aksa di luar. "Motor lo kenapa?"

"Mogok. Kagak ngerti juga kenape."

Reza menggoyang-goyangkan kunci inggris di tangannya yang kotor. "Sini, biar gue lihat."

Aksa menggiring kemudian menstandar ganda motornya itu. Reza segera berjongkok, mencari-cari kunci yang tepat di antara kunci-kunci lainnya yang berserakan di lantai sebelum mulai melonggarkan baut-baut yang terpasang di motor Aksa.

"Duduk, Sa. Kalo mau minum ambil aja. Tapi, adanya cuma air galon."

Aksa tahu bengkel ini cuma punya air galon dan Reza selalu memberikannya cuma-cuma kepada para pelanggannya—yang sebagian besar merangkap teman-temannya pula. Reza tak seharusnya memperlakukannya seperti ini. Aksa sadar, ia telah lama tidak berkunjung kemari, tidak bertemu Reza, dan meninggalkan area balapan. Namun, ia tetap tak mau Reza menganggapnya orang asing.

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang