22. Mencari Terang

1.1K 110 8
                                    

Selain kenangan-kenangan yang bersikeras tinggal di kepala Aksa, Thalita tertinggal dalam selembar foto kumal yang Aksa simpan di laci terbawah lemarinya. Terpuruk bersama gunting, sebilah cutter, beberapa lembar kertas krep sisa tugas prakarya beberapa bulan lalu, dan sepasang kaus kaki.

Kalau saja pagi ini Anyelir yang masih sibuk bolak-balik Jakarta-Bandung untuk mengurusi persiapan pernikahannya, tidak berteriak-teriak dari dapur meminta dipinjami gunting untuk merobek bungkus bumbu mie instan, Aksa akan benar-benar melupakan foto Thalita itu. Sebenarnya, bukan hanya potret Thalita yang terperangkap di sana. Ada Aksa, Johan, Reza, dan tentu saja Dani yang berdiri rapat sekali dengan Thalita.

Itu, kali pertama dan terakhir Aksa pernah berada dalam satu fragmen gambar dengan Thalita. Dengan teman-temannya juga. Aksa tak terlalu suka mengabadikan segala sesuatu di dalam foto.

Aksa meluruskan selembar kertas matte yang kusut dan berbekas jaring-jaring lipatan itu. Dulu, Aksa kira tak akan ada yang bisa mengubah segala sesuatu di dalam foto itu. Tidak akan ada yang bisa mematahkan sorot optimisme di mata Reza, rasa percaya diri yang tepapar dari raut muka Aksa sendiri, atau melunturkan warna rambut Thalita yang seperti bunga matahari itu. Tidak akan ada yang bisa memisahkan Thalita dan Dani. Tidak akan ada yang sanggup mencerabut mereka semua dari arena balap, bengkel reza, skill otomotif abal-abal, dan segala sesuatu di antaranya.

Namun, seperti selembar gambar yang menua, usang, dan nyaris terlupakan itu. Tak ada yang bertahan di tempat yang sama selamanya. Kini, Aksa bertanya-tanya sendiri bagaimana bisa Thalita bernapas, tersenyum, tertawa dengan Dani yang tak pernah meloloskannya lebih jauh dari jarak satu langkah, atau dengan sorot mata yang tak putus-putus mengekorinya kemanapun ia bergerak. Dani seperti menghirup seluruh oksigen yang ada di sekeliling Thalita tanpa sisa. Hingga gadis itu layu dan mati.

Aksa mengantongi foto itu sebelum memakai sepatu dan menyalakan motor. Membawanya ke sekolah entah untuk apa. Barangkali ia akan menyodorkannya ke pada Sara. Lalu menceritakan semua yang perlu gadis itu ketahui. Namun, sesampainya di parkiran sekolah, sedetik setelah menurunkan standar dan April di belakangnya meloncat turun. Sara dan Dani juga baru memasuki lahan parkir.

Mereka tampak lebih bahagia dari siapa pun, seolah-olah bumi cuma setitik debu yang berputar di bawah kaki. Aksa pandangi semuanya, termasuk saat Dani merunduk untuk membantu Sara melepaskan pengait helm. Lalu keduanya melangkah bersama menuju ke lobi sekolah dengan jari saling mengait.

"Lihatin apa, sih?"

Aksa tersentak oleh suara melengking April. Gadis itu mengaitkan helm di spion dengan bibir mengerucut.

"Enggak. Kenapa, Pril? Barusan ngomong apa?"

"Lo kenapa sih, kok jadi tulalit gini?"

"Kan, dari dulu emang gue bego. Lupa ya?" tanya Aksa main-main. Ia mengacak rambut April yang jatuh berantakan di kening. Jurus andalan untuk meluluhkan hati perempuan itu.

"Nanti pulang sekolah, gue mau bimbel. Lo bisa anter nggak?"

Aksa mengernyit. Ia letakkan helmnya ragu-ragu di spion yang lain. Sejak kapan April ikut bimbel? Kapan mendaftar? Sejak kapan gadis itu menyukai hal-hal akademis? Bukannya perisapan debat bahasa inggris itu sudah cukup merepotkan?

Bukannya Aksa tak suka April yang seperti ini. Bukan.

Ia hanya bertanya-tanya mengapa April tak melibatkannya lebih awal? Saat April memetakan nama-nama bimbel dan mengurutkannya berdasarkan reputasi dan rankingnya masing-masing, apa ia sempat mengingat Aksa? Menginginkan pendapatnya? Aksa tahu April sedang menyiapkan masa depannya, dan tak ada yang lebih penting dari itu. Tapi, di antara rencana-rencana yang bercabang kemana-mana itu, apa April sudah sempat memikirkan akan meletakkan Aksa di mana? Seberapa banyak ia akan memberikan jatah untuk kehadiran Aksa? Yang lebih penting, apa April masih menginginkan Aksa ada di masa depannya?

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang