26. Yang Tak Utuh Sejak Semula

1K 113 5
                                    

Tanpa anak-anak tim basket sekolah yang rutin latihan di sini tiga kali seminggu, atau tim taekwondo yang biasanya meminjam tempat latihan, lapangan basket in door ini terasa lapang. Di ketinggian salah satu tribun penonton itu, Aksa justru merasa rendah dan kecil. April hanya serentangan tangan jauhnya. Tapi, seluruh gestur tubuhnya mengisyaratkan ia tak mau didekati. Ruangan yang lapang tapi terasa mengimpit. April yang dekat sekaligus berjarak. Hal-hal kontradiktif semacam itu tak pernah gagal membuat orang-orang selangkah lebih dekat kehilangan kewarasan.

"Gue nggak pernah tahu lo bisa mukulin orang sampe kayak gitu." Suara April yang parau memecah hening setelah sekian lama.

Aksa merasa perlu membela diri. "Gue bukannya mukulin orang yang nggak berdaya, Pril. Tadi, kita berantem."

"Gue juga nggak pernah tau lo hobi berantem. Gue nggak tau kalo gue lagi pacaran sama jagoan."

Aksa juga bukan jagoan. Ia tak suka sarkasme April kali ini. "Tolong, Pril. Jangan bikin semuanya tambah sulit. Gue salah. Gue minta maaf. Gue bikin lo malu, bingung, cemas. Gue minta maaf."

"Waktu gue bilang gue capek sama lo, salah satunya gue capek denger lo minta maaf." April menjatuhkan kepalanya di atas lututnya yang tertekuk. Teriakannya teredam di sana. "Isi kepala lo itu, sebenernya apa, Sa? Gue nggak tahu apa yang lo rencanain, yang lo mau, yang lo cari. Setiap kali lo mau berbuat sesuatu, lo nggak pernah bilang apa pun ke gue. Baru, setelah semuanya berantakan, lo bilang lo minta maaf. Lo bilang lo nggak pernah bermaksud nyakitin gue. Tapi, gue selalu sakit, Sa."

Itu juga fakta. Bahwa apa pun yang Aksa lakukan selalu berakhir menyakiti April. Kini, Aksa melihat semuanya dengan jelas. Keegoisannya yang ditelanjangi satu persatu.

"Sekarang, gue tanya, kenapa lo berantem sama Dani?"

Aksa memandang langit-langit ruangan ini yang berbentuk kubah. Berusaha melarikan diri dari tatapan April, dan kalau bisa juga dari pertanyaan yang diberikannya itu. Bagaimana cara menjelasakan semuanya tanpa membeberkan perasaannya sendiri? Tanpa menyakiti April lebih jauh lagi?

Bukan. Bukannya Aksa hendak memelihara perasaannya kepada Sara diam-diam di belakang April. Lalu menyelinap seperti pecundang. Kelak, Aksa akan mengakui semuanya, sekaligus memberi tiket April untuk lepas dari segala kerumitan yang Aksa punya. Namun, tidak sekarang. Saat ini, adalah saat-saat seharusnya Aksa memohon maaf, membesarkan hati April, dan memenangkan perasaannya.

Aksa melongok lebih jauh ke dalam dirinya sendiri. Mencari-cari sebentuk rasa yang dulu pernah mengikat mereka berdua. Untuk dihadirkan kembali saat ini. Saat ini saja. Sebentar saja. Namun, hati Aksa bersikeras. Ia tak menemukannya lagi.

"Karena Sara, iya, kan?" tebak April dengan bibir bergetar.

"Iya. Tapi, ini nggak kayak yang lo pikirin, Pril. Dani bukan cowok yang baik buat Sara. Dia kasar, pengecut, manipulatif. Sara harusnya dapet cowok yang lebih baik."

"Siapa, Sa? Cowok yang lebih baik buat Sara itu. Lo?"

"April!" Aksa tak sadar telah meninggikan nada bicara. Ketika mendapati gema suaranya sendiri memantul dari langit-langit kubah itu, Aksa sadar ia tak jauh berbeda dengan Dani.

Rasanya begitu frustasi ketika Aksa berkata, "Tolong, Pril, percaya sama gue. Gue cuma mau nolongin Sara."

"Gue juga mau percaya sama lo, Sa. Tapi, setiap kali gue berusaha percaya dan maafin lo, gue tau gue cuma lagi ngebodohin diri gue sendiri sekali lagi. Setiap kali gue merasa gue udah kenal sama lo sepenuhnya, lo selalu berbuat sesuatu yang bikin gue kebingungan siapa yang gue hadapi sekarang."

AKSARA [END]Where stories live. Discover now