16. Luka-Luka Kecil

1.2K 128 23
                                    

Kemarin, saat menginjakkan kaki di lantai rumahnya sepulang dari rumah sakit, Sara tidak langsung bertemu dengan Bunda dan Om Arif Firmansyah. Keduanya sibuk menyambangi toko-toko tekstil Om Arif Firmansyah yang kini bercabang dimana-mana. Meneliti laporan keuangan, memastikan stok, menghitung retur, dan menerima komplain.

Itu, memberi Sara kesempatan untuk memikirkan alasan untuk lengannya yang diperban. Sementara bekas sundutan rokok Dani, Sara sembunyikan di balik plester sekali pakai. Tak tahu apakah itu tidak akan terlihat mencurigakan. Tak tahu apakah ada opsi yang lain. Sara hanya tak bisa menemukan alasan untuk bekas luka bakar yang terlihat kentara disengaja itu.

Saat Bunda menatapnya khawatir dengan sorot mata setajam lensa mikroskop, Sara masih saja memberi alasan yang payah. Jatuh dari tangga, keasyikan main HP, tidak sengaja menginjak tali sepatu sendiri, menghantam pecahan pot keramik.

Apa-apa yang sudah Sara prediksi kemudian terwujud. Bunda menanyakan hal-hal seperti, siapa yang membawanya ke rumah sakit, yang membayar tagihan obat, berapa jahitan yang ia dapat di lengannya, apakah pihak sekolah bertanggung jawab.

Jawaban Sara adalah apa-apa yang ingin Bunda dengar ; wali kelas membawanya ke rumah sakit dengan mobil sekolah, membayar tagihan dan menebus obat untuknya, beberapa teman sekelas yang baik hati menyertainya ke rumah sakit dan beberapa yang lain membereskan barang-barangnya yang tertinggal di kelas.

Dua hari kemudian, Bunda masih tampak tak rela melepas Sara ke sekolah. "Kalau tangannya masih susah digerakin, nggak usah masuk dulu."

Ide yang bagus. Selain punya waktu untuk bermalas-masalan, Sara juga punya kesempatan untuk menghindari Dani yang terus menerus memberondong ponselnya dengan pesan dan telepon. Seandainya saja Dan, Om Arif Firmansyah tidak turut berada di rumah ini.

"Kalo dibuat tiduran terus nanti malah kaku." Sara membalik piring dengan satu tangan. Menyendok nasi dan tumis hati sapi dengan satu tangan pula.

"Tapi, berangkatnya diantar Ayah, ya?" Bunda mengerling ke pada Sara dan Om Arif Firmansyah bergantian di ujung meja berbeda.

Sara mendengar suara deham. "Iya, biar saya yang antar ke sekolah."

Sejak awal, Om Arif Firmansyah tidak pernah menunjuk dirinya sendiri dengan sebutan 'ayah'. Dan, itu melegakan. Justru Bunda yang berambisi membangun sebuah imaji tentang keluarga kecil yang hangat dan bahagia. Seolah-olah ikatan anak-ayah di antara Sara dan Om Arif Firmansyah bukanlah sesuatu yang organik, melainkan reaksi kimiawi yang bisa diformulasikan.

Sesuatu yang membuat Sara merasa dikejar-kejar tenggat.

"Aku udah pesan taksi online." Sara tidak bohong. Ia membuat pesanan tepat setelah membereskan buku-buku sesuai pelajaran hari ini. Kalau bukan karena kebetulan mendapat sopir yang mangkal lumayan jauh, Sara sudah akan melewatkan sarapan.

"Kan, bisa di-cancel. Bunda cuma nggak tega biarin kamu berangkat sendirian."

"Nggak sendirian, Bun. Berdua sama sopir taksinya."

"Kamu kenapa sih, Ra, sekarang jadi susah nurut sama Bunda?" Nada bicara Bunda meninggi.

Sara akan selalu menurut, asalkan Bunda tidak memaksa-maksanya memanggil Om Arif Firmansyah dengan sebutan ayah. Asalkan Bunda tidak menjebaknya di dalam mobil bersama Om Arif Firmansyah selama dua puluh menit dengan kecanggungan yang berputar-putar di antara mereka.

Sara tak pernah tahu, setidaknya sampai saat itu, jika Om Arif Firmansyah bersedia berada di tengah Sara dan Bunda. Melerai.

"Sudah-sudah," katanya dengan suara rendah.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now