7. Sekolah Baru dan Kota yang Lama

1.8K 167 51
                                    

Dua hari kembali ke Jakarta, Sara tidak mendapati yang benar-benar berbeda tentang kota ini sejak ia tinggalkan dulu. Hanya bertambah padat dan berisik. Sepanjang tahun, orang-orang dari berbagai penjuru negeri berduyun-duyun kemari; untuk bekerja, melarikan diri, sekolah, mengejar cita-cita, supaya lebih dekat dengan yang terkasih, dan ribuan alasan lain. Beramai-ramai mereka menggantungkan impian pada sepetak langit yang dari waktu ke waktu makin keruh itu. Sara melipat dirinya di sudut angkot. Berupaya menjadikan tubuhnya ke dalam bentuk yang paling kecil. Seperti imbauan sopir yang mengusap keringatnya barang satu menit sekali di balik kemudi itu, geser ... geser ... iya, terus ... yang belakang geser dikit lagi. Orang-orang terus belompatan masuk seolah-olah angkot tersebut tercipta dari karet yang bisa melar menyesuaikan jumlah penumpangnya.

Satu lagi tentang Jakarta yang tidak pernah berubah.

Maka, tidak heran setelah merangkak dengan susah payah beberapa ratus meter di permukaan aspal, salah satu ban angkot tersebut meletus. Orang-orang berteriak nyaring setelah mendengar bunyi letusan dan badan angkot miring dalam posisi menyedihkan.

"Kan ... mampus!" Sara membatin, sudah mengantisipasi yang terburuk.

Barangkali keputusannya sejak awal memang keliru. Tidak seharusnya ia naik angkot pada hari pertama kepindahannya ke sekolah baru. Ia bisa saja memesan taksi daring atau menerima saja tawaran Om Arif Firmansyah yang berniat mengantarnya. Sara menggeleng halus, mengenyahkan gagasan yang terakhir itu. Ia bahkan tidak bisa memanggil Om Arif Firmansyah dengan sebutan Papa atau Ayah. Tidak tanpa meninggalkan rasa aneh di langit-langit mulutnya.

Rombongan orang-orang mengalir keluar melalui rongga pintu angkot yang reyot dan tidak bisa dikatupkan lagi. Terik matahari pukul setengah tujuh terasa sakit di permukaan kulitnya. Sara naik ke trotoar ketika orang-orang-termasuk si sopir angkot-mendorong mobil tua itu ke bahu jalan. Beberapa pengendara yang entah baik hati atau tidak sabaran saja-sebab angkot yang mendadak berhenti itu menghambat lalu lintas-ikut-ikutan menepi dan memberi bantuan.

Termasuk cowok dengan seragam SMA kusut itu. Seingat Sara, dirinya adalah satu-satunya anak SMA di dalam angkot tadi. Sara tak tahu kapan cowok itu ikut-ikutan menepikan kendaraannya. Tiba-tiba saja ia sudah berada di antara orang-orang yang menekan bokong angkot itu dengan sekuat tenaga.

Sara terpaku. Seperti keheranan, seperti terpesona. Sebab selalu kepada kebaikan-kebaikan kecil seperti inilah rasa kagumnya bermuara. Sara cukup yakin si seragam kusut itu sebaya dengannya. Dan, ia membiarkan dirinya berkeringat, panas-panasan, merelakan seragamnya yang kusut menjadi lebih kusut dan kini kecoklatan.

Ketika angkot akhirnya menepi , lengkingan klakson yang semula bersahut-sahutan mereda, dan aliran kendaraan berangsur-angsur pulih. Orang-orang menyebar, membubarkan diri. Sara melihat si seragam kusut sedang berjalan ke arahnya. Namun bukan dirinya yang dituju, Sara tahu. Barangkali Kawasaki hitam yang diparkir miring persis di depan Sara adalah milik si seragam kusut itu.

Namun, si seragam kusut justru memanjat ke trotoar. Memapasi Sara.

"Tadi lo naik angkot mogok itu ya?" tanya cowok asing di depannya itu dengan suara yang lebih berat dari yang Sara antisipasi. Dari dekat begini, garis-garis kusut di kemeja putihnya tampak lebih tajam.

"Bukan mogok. Bannya meletus kebanyakan penumpang." Sara merasa perlu meluruskan.

Si seragam kusut tersenyum hingga menerbitan cekung kecil di sebelah pipinya. "Udah pesen ojek online?"

"Belum." Saat itu Sara baru benar-benar memikirkan kelanjutan nasib perjalanannya ke sekolah.

"Ayo bareng gue kalo gitu."

Sara menggeleng. Reflek saja, sebagai bentuk pertahanan diri. Si seragam kusut ini barangkali terlihat manis dengan cekung di pipinya, poni yang lengket di dahi, dan kebaikan kecilnya barusan. Namun, ini Jakarta. Sara tahu bahwa kota ini punya segala kekuatan untuk menarik keluar sisi-sisi paling jahat dan nekat dari diri seseorang.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now