5. Mawar Kuning

2K 178 67
                                    

Sesampainya di depan gerbang rumah April yang tinggi sekali itu, Aksa turun dan menstandar motor bebeknya dalam keadaan miring, lalu meloncat turun. Aksa membuka jok motornya yang mulai tipis, memastikan sebuket mawar untuk April tidak penyok. Agak kusut sedikit tetapi tidak ada kelopak yang meluruh.

Aksa tidak tahu apakah April akan menyukai mawar kuning murahan itu. Ia belum pernah memberi April bunga. Justru gadis itu lah yang pernah mengirimi Aksa beberapa tangkai mawar putih saat Aksa diopname karena sakit tifus tiga bulan yang lalu. Itu, salah satu hal termanis yang pernah dilakukan seseorang untuknya. Kini, mawar-mawar putih itu sudah tidak putih lagi. Mengering dalam kardus sepatu di bawah kolong tempat tidur Aksa dan berubah kecoklatan. Aksa meluruskan rambutnya di depan kaca spion. Percuma, rambutnya sudah terlanjur lengket akibat terperangkap helm selama perjalanan. Sambil mendekap buket mawar di satu tangan dan tangan lainnya menenteng keresek martabak manis cokelat, Aksa menghadapi ruas-ruas besi gerbang rumah April yang sebetulnya tidak pernah mudah dihadapi. Pada kali ketiga baru lah rantai gerendel di balik gerbang itu bergetar, deritnya seperti hendak menulikan telinga Aksa. Bilah-bilah besi di depannya mulai bergeser.

Mamanya April. Mampus!

Aksa menyeringai, setengah mati berdoa agar ia dan deret gigi yang ditampilkannya tidak tampak menyeramkan.

"Sore, Tante," tutur Aksa, tenggorokannya mulai tercekat.

"Iya, sore," kata Mama April dengan intonasi datar yang tidak mengejutkan Aksa.

"Ini, Tante, saya bawain martabak manis buat Tante sama April, sama Mbak Ayu juga kalau ada. Mbak Ayu nggak lagi libur, kan?" Aksa selalu berbicara terlalu banyak saat sedang gugup.

Martabak itu berpindah ke tangan Mama April dan sesuatu yang menjerat dada Aksa sejak tadi terlepas. "Mbak Ayu lagi nyiram tanaman di belakang. Kamu ke sini mau ketemu Mbak Ayu?"

Aksa merasakan tatapan analitik Mama April jatuh pada rambutnya yang kusut, lalu mawar kuning di pelukannya. Yang pasti tampak kontras dengan dirinya yang dekil. Harusnya, tadi ia pulang sebentar untuk membasuh badan dan menukar pakaian.

Aksa tertawa kering. "Iya, Tante. Sekalian ketemu April."

"Masuk!"

Mama April berbalik. Aksa melebarkan gerbang untuk dirinya sendiri, menuntun motornya, lalu merapatkan gerbang lagi. Aksa naik ke teras untuk mendapati perasaan itu menyerangnya sekali lagi. Insecure. Yang hanya datang tiap kali ia berkunjung ke rumah April. Sebelumnya, Aksa bahkan tak tahu parasaan semacam itu eksis di dunia. Perasaan yang menciptakan ilusi—atau sebetulnya realita, entahlah—bahwa dirinya sangat kecil, tak berdaya, tak pantas berada di dekat April.

Dulu, perasaan-perasaan semacam itu tak punya ruang di dalam pikiran maupun hati Aksa. Tak ada. Bahkan iri sekali pun.

Aksa terbiasa menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja. Ia membiasakan diri untuk merasa cukup. Sebab, tak mau kerepotan menangani terlalu banyak andai-andai yang cuma akan membuatnya susah tidur. Ketika melihat teman-teman SD-nya membawa robot mahal ke sekolah, Aksa tidak iri atau mengamuk ke pada ibunya. Aksa tahu sejak lama bahwa Tuhan menciptakan banyak sekali hal di dunia ini—yang berwujud, yang tidak berwujud, yang konkret, yang abstrak, yang bisa dihitung, yang tidak bisa dihitung, yang bisa disentuh, maupun yang tak bisa disentuh. Banyak sekali. Semua itu dibagi rata sesuai porsi masing-masing, bukan hanya untuk Aksa seorang.

Maka, ketika menginginkan sesuatu kemudian tak bisa mendapatkanya, Aksa hanya perlu mengingat barangkali yang paling ia inginkan sekalipun tidak diciptakan untuk ia miliki. Ada banyak sekali hal di dunia. Selalu ada subtitusi. Ia bisa mengganti robot mahal itu dengan truk kayu atau bila perlu mengganti lingkar pertemanannya. Tidak masalah. Hingga ia bertemu April dan kerepotan sendiri. Sebab, untuk urusan yang satu itu, untuk pertama kali ia tak menemukan subtitusi.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now