27. Faktanya

966 100 9
                                    

Aksa tak tahu apa yang seharusnya dilakukan orang yang sedang break dari sebuah hubungan. Ini sesuatu yang baru baginya. Mereka—ia dan April—masih duduk sebangku, berbicara seperlunya ketika salah satu meminta pinjaman karet penghapus atau tip x, dan hal-hal baru yang serba canggung lainnya.

Pada akhirnya, Aksa tetap remaja laki-laki 18 tahun. Ia bisa merasa lebih baik hanya dengan menghabiskan waktu di warung kopi, dengan secangkir kopi encer, beberapa batang rokok dan teman-teman yang seru. Kadang, bersama Febri yang tak pernah kehabisan pasokan gosip dan Aldo yang sekilas pendiam tetapi selalu punya saran-saran jitu, Aksa merasa segala kerumitan ini dapat tertanggungkan. Dan, seminggu dalam ketidak pastian ini, ditambah tiga hari skorsing bisa dilaluinya dengan selamat.

Namun, begitu ia pulang dari warkop, Aksa bertemu perasaan itu lagi. Kesepian. Ibu masih dalam mode mendiamkannya setelah menerima surat teguran dari kepala sekolah. Aksa terima, Ibu punya seluruh alasan untuk melakukannya, bahkan melakukan yang lebih parah seperti mengurung Aksa di kamar atau menyita ponsel—yang untungnya tidak dilakukan.

Tapi, jujur saja, Aksa takut. Kesepian seperti adonan lumpur yang mengisapnya perlahan-lahan sampai ke dasar. Meski pernah berkubang di sana sekian lama, nyatanya Aksa tak pernah terbiasa. Dulu, ia hanya pura-pura terbiasa. Hingga kedatangan April yang seperti busur pelangi itu membuatnya tak bisa berpura-pura lebih lama. Aksa menginginkannya; bahagia, warna-warna yang cantik, kasih sayang, hal-hal yang hangat dan tenteram.

Aksa membaringkan diri di kamarnya yang sengaja dibiarkan gelap. Ia menatap malam yang perlahan-lahan turun dari bingkai jendela. Jejak perkelahian dengan Dani masih menyisakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Pada saat-saat seperti ini, tidak ada yang lebih menguasai pikirannya selain ungkapan cinta April nyaris dua tahun yang lalu. Salah satu hal terindah yang pernah terjadi di hidupnya, saat gadis baik hati itu menebusnya dari kesepian yang Aksa kira mampu menawannya selamanya.

Hari itu, sepasukan gerimis berduyun-duyung turun dalam kecepatan lamban setelah seminggu terakhir bumi dipanggang di puncak musim panas. Aksa menatapi titik-titik air yang tempias dari tepi teras. Teman-teman sekelasnya yang lain sudah banyak yang menyeberang untuk mencapai tujuannya masing-masing; parkiran, jemputan di depan gerbang utama, ojek atau taksi daring yang menunggu di halte. Aksa menjadi salah satu dari sedikit yang bertahan, entah mengapa mendadak melankolis. Ia tak ingin cepat-cepat pulang. Gerimis seperti sebentuk hadiah yang ingin dinikmatinya dengan khidmat.

Lalu, kedatangan April menginterupsi dengan cara yang tepat. Aksa menyimpan seluruh percakapan yang mereka tukar hari itu dengan baik sampai hari ini.

"Kenapa nggak nerobos? Lagi pilek ya?" kata April dengan nada-nada menukiknya yang khas itu.

Aksa tertawa kecil. "Lo sendiri kenapa nggak langsung pulang? Bisa dimarahin Danang kalo kita ketahuan sok akrab sama gue."

Danang, si jenius di kelas Aksa itu. Sepupu April yang secara tidak langsung mendekatkan gadis itu dengan Aksa, ironisnya merangkap sebagai pihak pertama yang menentang mereka.

"Gue udah nemenin lo menghadapi maut di ruang BK, nyelametin lo dari Pak Prayoga, bantuin nyusun tugas kelompok bagian lo supaya nggak dimakan hidup-hidup sama Danang, masih dibilang sok akrab? Wah, gila, lo emang orang paling nggak tau terimakasih sedunia."

Sejauh ini, Aksa cuma tahu satu orang yang bisa menyampaikan kata-kata pedas tanpa meninggalkan rasa pedih; April. Sebab intonasinya begitu terkontrol, orang akan langsung tahu kapan gadis itu memaknai ucapannya dan kapan tidak. Kepada Aksa, kata-kata sarkastik itu lebih terdengar sebagai ajakan menyeberangi satu garis lagi, menjadi lebih akrab lagi.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now