18. Luka Selanjutnya

1.2K 130 13
                                    

Sara tahu jika ia tak segera keluar dari kantin, ia tak mungkin bisa menghindari Aksa. Sekolah ini besar, jauh lebih besar dari sekolah swasta agamisnya dulu di Malang. Tapi, rasanya tetap tak cukup besar untuk menghindarkan Sara dari Aksa.

Kali ini, Sara tak ingin berlari lagi. Bukan karena ia sudah bisa menerima Aksa yang mulai mengorbit di sekelilingnya dan kebetulan-kebetulan konyol ini. Jujur saja, menggelinding di atas tiga anak tangga dan melukai lengannya sendiri itu menyisakan trauma tersendiri untuk Sara.

Sara juga tak rela meninggalkan mangkuk soto pesanannya yang belum disentuh sama sekali. Lagipula, bisa saja Aksa tak menemukan di tengah kantin yang semakin padat ini. Namun, Aksa tak hanya melihatnya, laki-laki itu juga menghampiri meja Sara. Di sampingnya, Aksa kemudian duduk tanpa meminta izin terlebih dahulu.

"Kok nggak sama Dani, Ra?" tanya Aksa ringan. Seperti teman lama yang tak sengaja bersua kembali lalu saling menanyakan kabar. Seolah-olah mereka tak pernah memiliki sesuatu yang berarti untuk dirawat kembali. Juga tak pernah terlalu hancur untuk melanjutkan pertemanan.

Sara kebingungan harus mengklasifikasikan hubungannya dengan Aksa saat ini dalam kotak yang mana. Yang ia tahu, saat ini, ia sudah cukup lelah baik untuk melarikan diri maupun membenci.

"Bentar lagi Dani nyusul."

Aksa membunyikan 'oh' pendek dan Sara tergoda untuk menanyakan hal yang sama. Kemana perempuan mungil bernama April yang sering mengisi ruang di sisi Aksa itu?

Sara tahu Aksa memiliki pacar sejak beberapa hari pertama ia pindah ke sekolah ini. Seisi sekolah ini tahu. Keduanya sama-sama populer dengan cara yang berbeda. April dengan kiprahnya di klub debat bahasa Inggris. Aksa dengan reputasi-reputasinya yang tak bisa dibanggakan. Dan, orang-orang menyukai pasangan yang seperti itu. Dongeng tentang seorang putri baik hati yang menyeret seorang lelaki menyedihkan ke tempat yang lebih terang.

Sara akui, keduanya serasi. Terlepas dari penampilannya yang acak-acakan dan tubuhnya yang kurus, Aksa cukup tampan dengan hidung mancung dan alisnya yang rimbun. April, meski tak berada dalam daftar nama-nama perempuan tercantik di sekolah, tetap menggemaskan dengan posturnya yang kecil dan kulitnya yang pucat.

Saat keduanya berjalan di lorong, orang-orang akan menepi dengan sendirinya.

"Lo sendirian?" tanya Sara akhirnya.

Aksa mengangguk. Tak segera memesan makanan.

Meski masa SMP adalah masa yang terlalu dini untuk mengenal urusan cinta. Pada asaat itu, Sara merasa tertinggal dibanding teman-teman sekelasnya yang mulai memiliki pacar pertama. Ada saat-saat di mana anak laki-laki yang ingin mengajaknya bertukar nomor ponsel merasa terintimidasi oleh kehadiran Aksa kemudian berguguran satu persatu.

Kini, menyadari bahwa keduanya telah sama-sama memiliki kekasih, menyentak sesuatu di dalam diri Sara. Mereka sudah bertumbuh. Jauh lebih cepat dari yang ia pikirkan. Waktu memelasat, terbang, berlari, dan membawa serta-serta hal-hal yang mereka kira akan tetap di tempat yang sama selamanya.

Aksa yang ada di sampingnya sekarang barangkali bukan orang yang sama dengan anak laki-laki tiga apalagi enam tahun lalu. Begitu pun dengan diri Sara sendiri.

"Gimana tangan lo, Ra, masih sakit?"

"Udah mendingan. Lusa udah boleh lepas perban, kok."

"Itu, lecet-lecet di jari lo kenapa? Bukan karena jatuh dari tangga waktu itu, kan? Seinget gue nggak ada. Udah diobatin?"

Pertanyaan Aksa seperti serentetan peluru yang menghujani Sara dan membuatnya kuwalahan. Ia luput mengantisipasi bahwa Aksa memiliki mata yang jeli yang hanya tertuju untuknya. Sara bisa menyembunyikan luka-luka itu dari Bunda maupun Om Arif Firmansyah dengan menghindari sarapan, menyusupkan tangannya ke saku rok saat menyalimi mereka tadi pagi. Tapi, untuk hal-hal yang berusaha Sara timbun rapat-rapat, Aksa akan selalu punya cara untuk mengejanya satu persatu.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now