Epilog

880 50 4
                                    

Sara menurunkan kaca jendela di sampingnya, lalu mendorong kepalanya sedikit melewati batas pintu mobil. Dihirupnya dalam-dalam udara Jakarta yang tak sepenuhnya segar. Ini, kali pertama ia merasa begitu bebas setelah sekian lama. Meski sebelah kakinya masih terlindung oleh lempengan gips dan ia harus memobilisasi diri dengan bantuan kruk, keluar dari kamar rawat yang menyedihkan itu tetap sesuatu yang ia syukuri.

"Ra, jangan gitu. Bahaya!" tegur Bunda khawatir.

Setelah peristiwa kecelakaan kemarin sekaligus mengetahui sosok Dani yang sebenarnya, Bunda semakin sering khawatir. Kalau saja Bunda setuju, Sara harusnya bisa pulang opname lebih cepat.

Selama masa opname yang muram kemarin, Bunda hampir-hampir tak pernah meninggalkan kamar rawat Sara. Bunda memboyong beberapa lembar pakaian agar ia tak perlu pulang ke rumah sama sekali. Pada satu malam panjang, saat Sara terbangun oleh rasa haus yang menggigit di tenggorokannya, ia menemukan Bunda masih terjaga sembari memandangi entah apa dari balik jendela. Bahu Bunda yang ringkih dan agak melengkung ke depan bergetar oleh tangis.

Bunda tak suka dipergoki saat menangis, oleh sebab itu Bunda hanya akan melakukannya saat tengah malam. Saat ia kira dunia telah lelap dan di dalam gelapnya yang pekat ia dapat bersembunyi. Sara memilih untuk menahan rasa haus dan pura-pura tertidur. Pada malam yang lain, Bunda tertidur begitu saja di kursi plastik yang dirapatkan dengan tempat tidur Sara. Igauannya yang parau membangunkan Sara. Maafkan Bunda, Ra. Maaf. Maaf.

Barangkali, Bunda tak pernah berubah. Sara lah yang terlalu sibuk bertumbuh. Biar bagaimana pun ia bukan lagi remaja lima belas tahun dengan pola pikir sederhana. Bunda masih orang yang sama, dengan kasih sayang yang sama, hanya ia tak bisa lagi memverbalkan hal-hal semacam itu kepada putrinya yang sedang tumbuh dewasa.

"Biarin aja, Bun," ucap Om Arif di balik kemudi. "Yang penting tangannya jangan sampai keluar-keluar ya, Ra."

Mengenai Om Arif ... Sara sebetulnya tak yakin apa kah ia memang menginginkan kehadiran laki-laki itu di hidupnya, di keluarganya. Namun, kini ia mengerti, bahwa bumi tidak berputar untuk memenuhi keinginannya seorang.

Sara sudah tak melongokkan kepalanya ke luar jendela lagi. Namun sepanjang sisa perjalanan itu Bunda dan Om Arif berdebat mengenai hal-hal apa yang membahayakan dan tidak membahayakan untuk dilakukan di dalam mobil yang sedang melaju. Itu, obrolan panjang pertama mereka setelah Sara kecelakaan dan gadis itu senang mendengarnya. Tali kekang yang melilit hatinya selama ini seakan terburai satu persatu.

Sesampainya di pekarangan rumah, Bunda melompat keluar lebih dulu. Dikeluarkannya serencengan kunci untuk membuka pintu yang kini tampak lebih berdebu. Sementara Om Arif membongkar bagasi dan menurunkan sepasang kruk dari sana.

"Bisa nggak?" tanya Om Arif selagi Sara menyeimbangkan tubuhnya dengan ketiak menjepit kruk.

Kemarin, saat ia berlatih di taman rumah sakit, berjalan dengan dua kruk seperti ini terasa mudah. Memang agak repot dan membuat pangkal ketiaknya nyeri, tetapi setidaknya ia tak terhuyung ke berbagai arah seperti sekarang.

"Ayo pelan-pelan, saya pegangin."

Tiba-tiba saja telapak tangan Om Arif telah mendarat di salah satu bahunya. Menyeimbangkannya di antara kruk-kruk menyebalkan itu. Ia pun mulai mengayunkan langkah. Tertatih-tatih sampai di ruang tamu kemudian duduk di salah satu sofa.

"Yakin nggak mau sekalian ke kamar? Biar saya bantuin."

Sara menggeleng. Ia masih ingin menikmati udara segar.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now