14. Mimpi Buruk Pertama

1.4K 129 9
                                    

Hal-hal buruk yang terjadi kemudian seperti serangkaian domino yang roboh satu per satu. Erang kesakitan pertama Sara membebaskan Aksa dari kebekuan. Menyembunyikan sesuatu yang terasa seperti alarm gawat darurat di benaknya.

Aksa melompat ke tengah kerumunan. Diangkatnya tubuh Sara dengan gemetaran. Bobot Sara jauh lebih ringan dari yang Aksa antisipasi, tetapi segala sesuatu saat ia berjalan menuju UKS di ujung lorong sana terasa berat. Sara menyurukkan kepalanya ke dada Aksa dalam upayanya menyembunyikan tangis. Namun, Aksa tahu. Ia merasakan bahu Sara yang bergetar halus. Juga air matanya yang merembesi seragam Aksa sebagaimana darah dari lengannya yang robek.

Seolah semuanya belum cukup parah, "Lukanya terlalu dalam, Dek. Harus dijahit," kata perawat yang bertugas di UKS. Sekolah ini tak punya peralatan jahit.

"Saya bersihkan dulu pake alkohol, ya. Kamu ke ruang guru aja minta diantar ke rumah sakit."

Itu, akan memakan banyak waktu. Orang-orang dewasa selalu seperti itu. Terlalu banyak bertanya, terlalu banyak ingin tahu, terlalu banyak berpikir. Aksa sudah lama berhenti mengandalkan mereka di dalam hidupnya. Maka selagi luka Sara dibersihkan, Aksa memesan taksi daring dari ponselnya. Taksi itu sampai tak lama kemudian. Saat itu, sisa-sisa tanah di lengan Sara telah disingkirkan dan lukanya kini dibalut kasa. Pergelangan kaki Sara yang membiru juga telah dibaluri minyak gosok yang baunya menyangat itu.

Aksa menggendong Sara lagi. "Tahan ya, Ra."

Sopir taksi daring yang dipesannya berlari tergopoh-gopoh dari pintu depan ketika Aksa merunduk pada kaca kemudi. Lalu membukakan pintu belakang.

"Cepat ya, Pak!"

Aksa mendudukkan Sara dengan hati-hati. Membiarkan perempuan itu mencengkeram sebelah lengannya dan menangis. Selain kesakitan, Sara juga takut akan darah.

"Dani," kata Sara dengan napas tersenggal. Hati Aksa berdenyut nyeri, tidak bisakah kali ini saja Sara mengandalkannya? Memercayai bahwa Aksa bisa menolongnya?

"Iya nanti gue telepon Dani, gue punya nomornya."

Nomor telepon Dani adalah sebelas baris angka yang sudah lama menghuni daftar merah di ponsel Aksa. Terblokir, berdebu, usang. Seperti barang lama yang sudah tidak ingin Aksa ingat-ingat lagi karena memenjarakan terlalu banyak kenangan buruk. Aksa bahkan tidak tahu apakah nomor itu masih aktif.

Namun, hari itu Aksa tak perlu menghubungi Dani sama sekali. Ia datang ke UGD setelah lengan Sara telah terbungkus perban dan disuntik obat pereda rasa sakit. Dokter menyuruhnya di sana beberapa jam untuk memastikan jahitannya tidak berdarah lagi dan kondisi kakinya tidak memburuk.

Aksa tidak ingin bertanya darimana Dani tahu mereka di sini. Dinding-dinding di sekolah mereka pun bisa mengedarkan kabar.

Tubuh ramping Dani menyelinap di antara bilah pintu dengan tergesa-gesa. Napasnya tersenggal-senggal seolah ia baru saja mengitari seantero gedung rumah sakit. Dalam jarak dari pintu menuju dipan, matanya yang keruh hanya melihat Sara.

"Mana yang sakit, Ra?"

Untuknya, Sara mengulas senyum. Meski Aksa tahu untuk Sara yang lemas, melakukannya membutuhkan banyak tenaga. "Cuma luka sedikit. Udah diperban sama diobatin. Nggak usah khawatir."

Lalu Dani berbalik, untuk pertama kali manantang Aksa beradu pandang. Semuanya terasa akrab saat itu ; mata keruh Dani yang menyala marah, rahangnya yang kaku, caranya merenggut kerah seragam Aksa.

AKSARA [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora