30. Lapisan Terdalam

1.2K 103 4
                                    

Dani yang sedang terlelap adalah gambaran anak laki-laki kelelahan sepulang bermain bola di lapangan komplek. Terlalu letih untuk sekadar berjalan ke kamar sehingga jatuh tertidur begitu saja di sofa. Kini, pemandangan memenuhi ruang tamu rumah Sara.

Semalam, Dani berkata ia akan datang ke rumah Sara pagi-pagi untuk mendaftar kuliah—universitas swasta, seperti yang selalu dibicarakannya. Semakin cepat, semakin baik. Banyak potongan biaya pada gelombang pendaftaran awal. Meski, untuk Sara nominalnya tetap besar. Alasan yang kemudian ia gunakan untuk berkelit kali ini. Bahwa, ia belum berbicara serius dengan Bunda soal biaya yang besar itu, sehingga Dani meloloskannya. Hanya kali ini saja.

Dani memang datang pagi-pagi sekali. Saat Sara baru selesai melipat selimut, Bunda baru selesai menggulung slang setalah menyirami rumput di halaman, dan kopi pagi Om Arif Firmansyah belum habis. Padahal, Sara sudah memperingatkan bahwa Bunda dan Om Arif Firmansyah baru akan keluar sekitar pukul sembilan.

Aku nggak merasa perlu ngehindarin Bunda kamu dan suaminya, itu yang dikatakan Dani. Ia memang datang dengan kepercayaan diri penuh. Dengan ranselnya yang hanya berisi laptop dan kabel pengisi daya, kemeja flannel yang licin, dan sepatu converse yang tampak baru. Ia terlihat begitu tampan. Sehingga alasan-alasan yang datang darinya kemudian dengan mudah melewati seluruh skeptisme Bunda.

Tiga jam kemudian, setelah mengisi setumpuk aplikasi pendaftaran, Dani jatuh tertidur.

Laptop laki-laki itu masih membentang di atas meja. Potret mereka berdua terpapar di layarnya yang pipih. Foto itu diambil beberapa hari setelah mereka jadian—setalah ciuman pertama mereka. Kali pertama Dani menghadiahinya kencan yang layak. Itu, hanya foto boks biasa yang dipotret kembali dengan ponsel. Mereka berdiri rapat-rapat di bilik yang kecil, saling membenturkan pelipis, tersenyum ke arah kamera. Tampak seperti dua orang yang telah menggenggam rahasia-rahasia satu sama lain.

Faktanya, hanya Dani yang sedang menggenggam rahasia-rahasia Sara.

Sara kembali memandang Dani yang terlelap. Titik-titik keringat di dahinya, rambutnya yang jatuh melemas ke pipi, napasnya yang berirama, bulu matanya yang pendek dan lurus. Mendadak merasa tak mengenali semuanya lagi.

Sara justru terbayang kamar Aksa pada satu malam yang sepi, genangan es kelapa muda di lantai, bolu-bolu di piring yang tak pernah dimakan, dan alat-alat pembakar serbuk itu. Dan, ia sangat marah. Kepada Aksa yang tak pernah berhenti menjadi pengecut hingga hari ini, kepada Dani dan kebohongan-kebohongannya, kepada dirinya sendiri yang selalu tertinggal di belakang.

Sara terlonjak dari lantai. Ia berlari ke kamarnya dan membanting pintu. Jarak kamarnya dengan ruang tamu yang cukup dekat membuat Dani terbangun oleh debum bantingan pintu dan cepat-cepat menyusul Sara dengan linglung.

"Ada apa, Ra?"

Barangkali, kesalahan terbesar Sara hari itu adalah membiarkan Dani memasuki rumahnya. Barangkali, kesalahan terbesar Sara adalah membiarkan Dani memasuki hidupnya sejak kali pertama.

Dani mengayunkan pintu lalu mendekati Sara yang terisak di tepi ranjang. Kehadirannya membuat Sara waspada, tetapi usapan lembutnya yang jatuh di rambut Sara selalu lebih lembut dan hangat dari yang ia kira. Sara hampir saja terlena, tetapi cepat-cepat didorongnya Dani menjauh.

"Aku minta maaf, Ra, kalau ada salah sama kamu. Tapi, kamu jelasin ya aku salahnya di mana. Jangan kayak gini." Suara Dani parau khas orang baru bangun tidur.

"Kamu pembohong, Dan!" Kemarahan itu memberi Sara energi yang tak pernah datang sebelumnya. Tidak bahkan pada saat-saat Dani menjambak rambutnya atau menampar pipinya.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now