31. Help Is on The Way

1.9K 124 7
                                    

Aksa kira ia masih punya waktu. Masih ada cara-cara lebih baik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada April. Namun, sebagaimana yang ia tahu tentang hidup selama ini; tak pernah ada yang berjalan seperti yang ia rencanakan. Juga, seperti yang dikatakannya kepada Sara kemarin, bahwa ia selalu berada di pihak Sara. Selama ini. Aksa hanya kehilangan kepercayaan diri.

Dan, bahwa Aksa akan melakukan apa saja untuk membangun kembali kepercayaan Sara untuknya. Termasuk meninggalkan April tanpa perpisahan yang layak. Sebab memang hanya itu pilihan yang tersisa.

Aksa bangun terlambat sampai tidak sempat mandi. Disambarnya baju seadanya dari tumpukan teratas. Tergesa-gesa mengeluarkan motor dari ruang tamu yang menolak menyala. Aksa tak menyerah. Masih ada bus, meski nantinya di halte terakhir laki-laki itu harus berjalan setengah kilometer untuk sampai di kantor dinas pendidikan tempat lomba debat April dihelat. Tak apa-apa.

Kalau saja bukan karena perempuan yang tak sengaja dilihatnya di salah satu kursi bus butut itu, Aksa tak akan menyerah.

Aksa baru saja meletakkan tubuhnya di kursi paling belakang. Di atas lapisan busa yang tak terasa daya pegasnya lagi. Ia baru akan mengirimi April kalimat-kalimat penyemangat sekaligus mengonfirmasi kedatangannya, ketika pandangannya justru berlabuh pada perempuan dengan kaus oranye elektrik seterang bunga matahari. Perempuan yang hanya berjarak dua baris kursi—perempuan yang telah dicari-carinya selama beberapa minggu terakhir.

Disimpannya kembali ponsel ke saku jaket selagi Aksa menyeimbangkan tubuhnya di atas lantai bus yang terus melaju. Namun, ketika Aksa hanya perlu menyelesaikan satu langkah pendek untuk mencapai kursi perempuan itu, si perempuan kaus oranye justru meneriakkan 'kiri' kepada supir bus di balik kemudi. Badan bus yang besar pun menepi dan perempuan itu turun tanpa sempat menoleh ke belakang.

Tak ada pilihan. Aksa ikut melompat turun setelah mengoper sepuluh ribuan kepada kernet bus. Diikutinya jejak-jejak perempuan itu dengan putus asa. Ketika perempuan itu menyisip ke dalam sebuah toko bunga, Aksa pun mendorong pintu dan bergabung ke dalam bangunan yang tak seberapa luas itu bersama ribuan tangkai bunga yang berkumpul di dalam berbagai keranjang rotan. Bersama Thalita.

Sosoknya kini tampak jelas. Segala sesuatu, kecuali detak jantung Aksa sendiri, terasa melambat ketika ia melihat Thalita menyisip ke balik meja kasir. Memasukkan dirinya ke dalam rompi dengan emblem identitas toko ini; Thalita Flourist. Thalita kemudian berkeliling, menyapa karyawan lainnya dalam rompi yang identik dengan miliknya.

Ketika akhirnya Thalita mendapati kehadiran Aksa di samping batang-batang tulip yang tumpah ruah dari keranjang gigantis, perempuan itu terdiam. Dari matanya yang membeliak, Aksa membaca keinginan kuat untuk melarikan diri. Barangkali, dipertemukan dengan fragmen-fragmen masa lalunya adalah hal terakhir yang Thalita inginkan. Aksa mengerti, ia adalah bagian dari fragmen kenangan yang disusun atas sosok Dani, rasa sakit yang tak pernah tuntas, dan hal-hal serba traumatis lainnya.

Tapi ... kali ini saja. Tolong ... jangan lari.

"Ta, apa kabar? Masih ingat gue, kan?"

*

"Mana bisa gue lupa sama lo, Sa."

Aksa tak tahu apakah itu berarti hal baik atau justru sebaliknya.

Aksa memilih tersenyum kecil sembari melarikan pandangannya ke sekeliling kantor Thalita. Sebuah ruangan mungil yang tampak terlalu membosankan untuk anak muda seusia mereka. Dindingnya berwarna putih polos, tanpa wallpaper, tanpa hiasan apa-apa kecuali bingkai foto yang memuat potret Thalita dan karyawan toko bunga ini. Mau tak mau Aksa teringat rambut warna-warni Thalita dulu.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now