34. I do Save Myself

297 36 3
                                    

Baru setelah sekolah ini ditinggalkan hampir seluruh siswanya, Sara menyeret dirinya meninggalkan kelas. Suara teriakan regu taekwondo dan hitungan 1-8 anak-anak cheers dari kejauhan, melatar belakangi langkah kaki Sara di lorong yang terasa panjang itu.

Dani akan menjemputnya setelah Sara menelepon di salah satu bilik kamar mandi dengan sekujur tubuh gemetaran tadi. Di antara suaranya yang serak, laki-laki itu terdengar senang. Aksa juga sempat menawarinya pulang bersama setelah jam sekolah habis. Kini, tawaran itu menjelma sebuah pesan tak terbaca yang mengantre di daftar kotak masuk ponselnya. Sara tak ingin melibatkan siapa-siapa. Sebrengsek-brengseknya Dani, pada akhirnya tidak ada yang memaksa Sara untuk berada di lingkaran beracun ini. Tidak Dani, tidak keadaan, tidak siapa pun. Pada akhirnya, Sara tidak bisa membagi tanggung jawab ini kepada siapa-siapa.

Sesampainya Sara di halte depan sekolah—titik di mana Dani menyuruhnya menunggu—ia mengeluarkan ponsel. Dibukanya kolom obrolan dengan Aksa, dengan Bunda, bahkan dengan Rina. Sara merasa perlu mengatakan sesuatu ke pada mereka. Semacam ucapan terima kasih atas kebaikan-kebaikan mereka, juga hal-hal yang membuat Sara sakit. Setidaknya, itu mengisi waktu-waktu yang Sara punya.

Akan tetapi, itu akan terdengar seperti ucapan selamat tinggal. Sara bukannya hendak melemparkan dirinya dari ketinggian gedung pencakar langit. Ia justru sedang berusaha menyelamatkan diri sendiri. Maka, ia mengangkat ponselnya lebih tinggi, memasang senyum lebar kemudian mengabadikannya dengan kamera. Ia menyebarkannya kepada Rina dan menulis muka-muka kepengen es krim coklat.

Kepada Aksa, Sara akhirnya membalas. Udah di rumah, maaf nggak baca chatt lo. Besok, gue pengen main ke Time Zone. Pesan itu mengingatkan Sara bahwa masih akan ada besok. Ia akan bertahan satu kali lagi demi hari itu.

Dani datang dengan mobilnya yang sudah lama tak Sara lihat. Kaca di semua pintu mobil abu-abu itu dirapatkan sehingga Sara tak bisa melongok ke dalam. Dani sengaja memarkirkan mobilnya tidak benar-benar ke tepi, sehingga di belakang sana, klakson kendaraan yang hendak melintas mulai bersahut-sahutan.

Ia tarik juga akhirnya tuas pintu penumpang mobil Dani. Kesan pertama yang Sara dapatkan adalah betapa kotornya kendaraan ini. Lantainya terlapisi oleh rontokan abu rokok dan mengumpulkan berbagai sampah plastik. Sara juga mengendus aroma alkohol, kaus yang sudah lama tak dicuci, asam kopi, dan apak tembakau.

"Kita ke apartemen aku, ya? Nanti kita pesen makanan. Kamu mau apa, Ra? Pizza?" ucap Dani seraya melajukan mobil.

Sejak kapan Dani punya apartemen? Sara tersenyum kecut. Sejak kapan ia tahu cukup banyak soal Dani?

Kondisi Dani tak jauh berbeda dengan mobilnya. Rambut laki-laki itu kusut, matanya kuyu dan kemerahan. Ia bahkan mengenakan kaus dengan sablon yang telah terkelupas. Kira-kira kapan terakhir kali ia mandi?

"Kamu mau pizza, kan, Ra?"

"Aku mau bicara soal waktu itu, Dan. Soal kita."

Mobil berhenti di lampu merah. Dani menggunakan kesempatan itu untuk merunduk ke kursi penumpang. Tiba-tiba saja wajahnya sudah begitu dekat dan aroma alkohol itu menari-nari persis di depan hidung Sara. Bibir yang hendak mencium Sara itu juga pecah-pecah. Sara reflek menoleh ke samping sehingga Dani cuma berhasil menjangkau sebelah pipinya.

"Ra?" Suara Dani yang rendah membangunkan bulu kuduk gadis itu. Ia seperti menghadapi seorang pembunuh berdarah dingin. Seseorang yang bukan Dani, atau justru seperti ini lah Dani yang sebenarnya.

"Aku, 'kan udah minta maaf?"

Dani kembali ke kursi kemudi. Mobil melaju lambat selagi Sara menghimpun kekuatan. Jalanan di depannya tampak memburam dan memberi tahu Sara bahwa matanya mulai berair. Barangkali, ia tak akan menyelesaikan ini dengan baik. Ia tidak akan pernah menang dari Dani. Namun, akan tetap Sara coba. Demi Aksa, demi Thalita, demi kampus-kampus yang seperti kastil Hogwart di belahan Kaukasia itu.

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang