20. Thalita

1.2K 131 10
                                    

Aksa mengenal Thalita sebagai perempuan yang pernah cukup lama menjadi kekasih Dani. Juga, bahwa perempuan itu memiliki kecantikan yang disusun dari karakteristik yang unik. Sulit untuk tidak memandang dua kali saat tak sengaja berada di ruangan yang sama dengannya. Sulit untuk tidak jatuh hati oleh tutur katanya yang lembut dan suaranya yang manis.

Aksa akui, diam-diam ia pernah mengagumi Thalita. Ia selalu terpeona tiap kali menemukan rambut ikal Thalita yang warna-warni menari-nari tertiup angin—Thalita mengganti warna rambut lebih sering daripada Aksa mencuci motonya. Setiap melihat senyumnya yang lebar, yang akan memaparkan dua taring kecil di barisan giginya itu.

Thalita adalah salah satu siswa berlumuran privilese yang mengenyam pendidikan di SMA Pelita. Seperti Dani, seperti nyaris seluruh siswa di sekolah itu. Aksa pertama kali melihatnya saat ia menjemput Dani pulang sekolah pada tahun pertama mereka di SMA.

Dua malam sebelumnya, motor Dani baru saja ringsek setelah menabrak pohon palem pada satu sesi balapan yang sengit dan harus diinapkan di bengkel Reza. Dani mengalami banyak lecet di bagian lengan dan kaki, serta mendapat dua jahitan di dagunya. Orang tuanya selalu sibuk dan tak punya waktu untuk mengantar-jemput. Sedangkan Dani terlalu gengsi untuk diantar sopir pribadi ayahnya. Jadilah, Aksa yang didaulat menjadi ojek dadakan.

Dani menunggu di halte dekat gerbang sekolahnya yang menjulang tinggi. Namun, tidak seperti kemarin, ia tak sendiri. Seorang perempuan berkulit coklat yang manis sekali mengisi ruang kosong di sampingnya. Mereka buru-buru merenggangkan diri begitu mendengar deru motor Aksa mendekat.

Namun, Aksa terlanjur melihat semuanya. Kecanggungan dan rasa hangat di antara jarak serentangan tangan itu. Telapak tangan Thalita yang terkulai di atas bangku besi, yang berjejak jari-jari Dani, yang barangkali masih hangat. Terlalu kentara. Semuanya, terlampau jelas.

Dan, kata-kata pertama yang didengar Aksa pertama kali dari Thalita itu. Yang merekat untuk waktu yang lama di ingatanya meski tidak ditujukan untuknya. "Hati-hati, ya, Dani. Nanti sore jangan lupa dioles salep lagi luka-lukanya. Usahain jangan kena kotor-kotor dulu. Ya?"

Demi mengurai kerut-kerut khawatir di dahi Thalita, Aksa menyahuti. "Entar kalo Dani nggak nurut, biar gue yang marahin."

Thalita tertawa. "Makasih."

Beberapa hari kemudian, saat luka-luka Dani mulai mengering. Cowok itu membawa Thalita ke komplek balapan mereka. Gadis itu mengenakan rok terusan hitam yang jatuh mengembang di sekeliling lututnya. Berdiri di samping Dani sambil merapatkan kardigan rajut yang dikenakannya untuk menghalau dingin. Rambutnya yang abu-abu berkilaun tersepuh cahaya lampu-lampu jalan.

Thalita bukan perempuan pertama yang mengunjungi arena balapan ilegal itu. Reza pernah membawa beberapa mantan. Sejumlah perempuan yang menggemari otomotif—yang tidak Aksa kenali dengan baik—seringkali datang untuk mencari hiburan. Kadang-kadang sekaligus berperan sebagai race queen—mereka yang mengayunkan bendera di garis start tepat sebelum para pebalap itu menarik pedal gas dalam-dalam.

Namun, kehadiran Thalita di komplek balapan itu terasa sebagai sesuatu yang ganjil. Tidak pada tempatnya. Ia terlalu kecil, terlalu manis, terlalu rapuh, dan terlalu indah untuk berada di lingkungan yang keras dan kumuh itu. Yang setiap sudutnya hanya berisi angin dingin menggigit, langit pekat, motor-motor modifikasi, asap knalpot, teriakan-teriakan, dan sesekali percikan darah.

Aksa memukul bahu Dani setelah memanaskan motor. "Lo gila ya? Cewek lo kedinginan tuh!"

Dani tak membantah tuduhan 'cewek lu' itu. "Dia sendiri yang mau ikut."

AKSARA [END]Where stories live. Discover now