11. Sepasang Sayap Pelindung

1.6K 154 11
                                    

Beberapa kali berangkat dan pulang sekolah bersama, tidak lantas membuat Sara bisa mengandalkan laki-laki itu dalam situasi-situasi sulit. Maka, ketika untuk pertama kali mengetikkan pesan berupa ajakan pulang bersama, Sara menghapus isi pesannya beberapa kali, mengetik ulang, membaca lagi dan lagi, baru kemudian menekan tombol kirim.

Sebelumnya, Sara tak pernah seperti ini. Dulu, setiap kali terjatuh; gagal mencapai target nilai ujian, ditolak sekolah favorit, proyek memanggang bolu yang hancur berantakan, kecewa, diselingkuhi pacar pertamanya, Sara selalu berlari sendirian.

Sara tidak pandai menghadapi masalah dan rasa sakit. Tidak tahu bagaimana caranya. Setiap kali sesuatu berjalan ke arah yang salah dan hatinya mulai berdarah. Ia hanya tahu berlari, menutup pintu-pintu, bersembunyi, memutus serat-serat koneksi, meninggalkan siapa pun atau apa pun itu tanpa terkecuali. Lantas, berharap masalah-masalah itu dapat menyelesaikan dirinya sendiri.

Kini, Sara tahu, masalah-masalah itu tidak pernah selesai dengan sendirinya. Mereka cuma menghilang sekejap untuk kemudian kembali lagi dalam bentuk lebih besar. Seperti berlari memutari roda yang tak pernah benar-benar membawanya ke mana-mana.

"Muka lo pucet, udah makan siang belum, sih?" Dani melangkah lebar-lebar dari pintu menuju meja Sara. Ruang kelas itu sudah sepenuhnya kosong.

"Udah." Kalau segelas teh instan dan sekantung keripik kentang bisa dikategorikan sebagai menu makan siang.

"Yaudah, yuk!"

Sara menarik ujung kemeja Dani yang tidak diselipkan ke celana—yang selalu kusut itu. "Gue sebenernya nggak mau pulang."

Tentu menyenangkan kembali ke rumah—meski bangunan minimalis itu masih terasa asing dan membuat Sara kebingungan mencari barang-barang. Mengatupkan pintu kamar rapat-rapat, menguncinya dari dalam, bergelung di balik selimut tanpa menukar seragam lebih dulu. Kecuali, jika kembali ke rumah sama artinya bertemu dengan Om Arif Firmansyah dan Bunda yang akan mengoreksinya tiap kali Sara kedapatan lupa menyematkan panggilan ayah.

Akhir-akhir ini, Bunda mulai agak memaksa. Dan, mustahil untuk sampai ke kamarnya tanpa melewati teras atau ruang tengah—tempat Bunda dan Om Arif Firmansyah biasanya menghabiskan waktu senggang.

"Terus mau ke mana?"

Ke mana pun, yang nggak ada Aksa di sana. "Nggak tahu."

"Ke rumah gue aja, gimana? Jam segini biasanya nggak ada orang."

Dani buru-buru menambahkan, "Jangan negatif thinking dulu, Ra. Ada Embak sama tukang kebun, kok. Cuma kalau keluarga gue biasanya pada nggak ada di rumah. Just in case, lo takut bakal merasa rikuh."

Dani menggaruki belakang kepalanya tak habis-habis sampai Sara takut laki-laki itu akan melukai kulitnya sendiri. Barangkali itu, juga rasa rindu akan penerimaan, yang membuat Sara meloloskan tawarannya. Dani memboncengnya dan mereka sampai di rumah cowok itu. Sara tak benar-benar tahu apakah ia melakukan ini untuk Dani, dirinya sendiri, atau keduanya.

Dani menekan klakson dan seorang satpam tergopoh-gopoh melebarkan gerbang besi. Sara mengangguk dan memberi senyum canggung. Ketika melompat turun dari motor, gadis itu terperangah oleh bangunan di depannya. Sebetulnya dari luar gerbang tadi, rumah Dani memang sudah terlihat megah. Bangunan itu disusun atas dua lapis lantai dengan balkon yang menghadap langsung ke arah gerbang. Atapnya berbentuk kerucut, tinggi sekali seolah sedang berupaya menggapai langit.

Itu, membuat Sara bertanya-tanya mengapa Dani justru menempuh pendidikan di sekolah negeri saat ia bisa membayar SPP sekolah swasta elite atau bimbel ekslusif di belahan bumi manapun dengan mudah.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now