12. Selamanya

1.7K 143 18
                                    

Uap tipis dari dua mangkuk yang Sara bawa dengan bantuan nampan kayu terasa hangat ketika menerpa wajahnya. Sara menunggu dengan tidak sabar Dani yang sedang merenggangkan bilah pintu kamarnya dengan satu kaki. Sementara kedua tangan cowok itu penuh dengan dua gelas air mineral.

"Sorri ya, Ra, berantakan. Aku nggak ngira bakal ada kunjungan hari ini." Dani menyertakan tawa kecil, pertanda gugup. Panggilan 'aku' yang digunakan Dani membawa rasa hangat yang khas.

"Taruh karpet aja. Kamu nggak apa-apa, kan, makan di bawah?"

Sara menggeleng. Diturunkannya satu persatu mangkuk dari nampan dengan hati-hati. Masing-masing mendampingi gelas berkaki tinggi yang lebih dulu ada di sana.

Di dalam kepala Sara, kamar Dani seharusnya lebih luas dan lebih berantakan dari ini. Lebih sesak oleh perabotan dan barang-barang yang lupa dikembalikan ke tempatnya setelah digunakan. Barangkali, juga sedikit kotor oleh tumpahan snack yang tercecer di lantai sebab laki-laki itu makan dengan teledor.

Akan tetapi, kamar Dani justru terasa terlalu lengang. Terlalu sepi. Lemari jati dua pintu yang merekat di dinding dan tempat tidur per itu memang terlihat gagah. Selebihnya, kamar ini terlihat tawar. Tidak ada poster-poster yang melapisi dinding atau figura yang dipajang di nakas. Tak ada kotak-kotak DVD yang bertumpuk di keranjang. Tak ada identitas Dani yang tercecer di sini.

"Mie-nya lembak banget, Ra," komentar Dani sesaat setelah menyuapkan sesendok mie ke mulutnya.

"Untung kita nggak lagi ikut MasterChef, bisa abis dimaki-maki Chef Arnold," balas Sara setelah mencicip.

Sara tak sedang melucu dan ia tahu celetukannya itu lebih terdengar sinis daripada lucu. Namun, Dani terkekeh kecil. "Lo suka masak, Ra?"

Sara menggeleng jujur. Bagi Sara, menyaksikan bahan-bahan yang tercecer di meja, dapur berantakan, dan panci-panci kotor yang bergelimangan di bak cuci, justru membuatnya pusing.

"Terus, hobi kamu apa?"

"Kenapa tiba-tiba kepo?"

Dani menyelesaikan kunyahannya, "Masa berusaha mengenal pacar sendiri dibilang kepo?"

Sara terkesiap. Ia merasakan hentakan kuat di perutnya, seolah-olah jantungnya baru saja terjatuh di sana kemudian berdetak di tempat yang tidak semestinya.

Dani terbatuk mendapati kedua mata Sara yang melebar. "Apa aku masih harus nembak kamu, Ra?"

Hentakan di perut Sara perlahan-lahan melembut menyerupai kepak sayap kupu-kupu. Sara meminum kuah mie dari sendok perlahan-lahan. Sengaja berlama-lama. Diintipnya Dani yang mulai frustasi dari bibir mangkuk.

"Ra?"

Sara menurunkan mangkuknya ke pangkuan. Berbisik lirih, "Kan, aku yang megang tangan kamu duluan."

Dani meletakkan mangkuknya yang telah kosong di atas karpet. Ia menggapai puncak kepala Sara, mengacak anak-anak rambut yang sudah berantakan itu. Sentuhannya bergulir ke pipi. Ibu jarinya tiba di sudut bibir Sara, menghapus setitik noda yang entah sejak kapan bertengger di sana.

"Kayak anak kecil," ujar Dani lirih.

Tiba-tiba saja, Dani sudah begitu dekat. Sara baru akan merapatkan kelopak mata ketika derit pintu merambati seisi kamar. Sara membentangkan jarak dengan tergesa-gesa. Sisa kuah di mangkuknya memercik ke serat-serat karpet.

Dani bahkan belum sempat menurunkan tangannya ketika menyahuti ART yang menyelonong masuk dengan setumpuk pakaian yang baru disetrika itu. "Taruh di kasur aja, Mbak."

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang