6. Janji Kepada Satu Sama Lain

1.8K 176 23
                                    

April pernah berkata bahwa kalaupun Aksa dilekati identitas yang berbeda, Mama April tetap tak akan bersikap terlalu baik kepadanya. Masalahnya, sejak awal, memang bukan pada Aksa. Masalahnya, sebelum menginjak dua puluh satu, April sebetulnya tidak diperbolehkan punya pacar. Oleh sebab itu, ketika Aksa bertanya apakah ada sesuatu darinya yang perlu diubah semata-mata supaya ibu gadis itu menyukainya, April dengan tegas berkata tidak ada. Tidak akan terlalu berguna.

Selama setengah jam berada di rumah April, Aksa belum juga tuntas menyalin catatan, tidak akan berhasil menuntaskannya di tengah suara batuk-batuk yang dibuat-buat dan dinyaring-nyaringkan. Maka, atas ide April, mereka berpamitan menuju perpustakaan kota. Setelah menghabiskan setengah jam di antara bangku-bangku baca yang senyap, Aksa pun merampungkan catatannya.

Sambil menikmati petang, mereka singgah sebentar di tenda semi permanen pedagang mie ayam yang letaknya hanya seratusan meter dari perpustakaan kota. Aksa mendengus tertahan begitu pesanan mereka dihidangkan. Ketika bapak penjual berbalik untuk menyiapkan minuman, ia mulai mengeluhkan potongan sawi di mangkuk mienya.

April membagikan tangkai-tangkai sendok, mendorong sambal dan kecap. Itu, caranya menyembunyikan cengiran.

"Lupa," kata April sekenanya. "Sawi tuh enak, Sa!"

Aksa mulai menyendoki potongan-potongan sawi di mangkuknya. Ia tak pernah suka sayur, apa pun jenisnya. Cita rasa mereka aneh dan membuat nafsu makannya susut.

April menyilangkan sendok dan garpu ketika Aksa hendak memindahkan sawi-sawi dari mangkuknya ke mangkuk April. "Gini, deh, lo makan sawinya. Enggak perlu semua, setengahnya juga udah bagus, terus ini gue yang traktir."

Tiap kali mereka makan di luar, Aksa tak selalu menjadi yang membayar tagihan makan. Kadang, mereka membaginya sama rata. Kadang, April yang melunasinya penuh. Mereka sadar sepenuhnya bahwa keduanya sama-sama belum punya penghasilan.

April barangkali mendapat jatah uang bulanan yang lebih besar, tapi tetap saja mereka cuma anak SMA biasa. Sehingga, mereka sepakat untuk lebih sering membayar makanan masing-masing dan saling menraktir pada momen-momen tertentu saja.

"Yang bener?" Aksa menyipitkan mata. Aksa tahu ini alibi saja. April sedang ingin mentraktirnya untuk mawar kuning dan martabak manis tadi. Padahal, ia sama sekali tak mengharapkan imbalan.

"Iya. Buruan makan sawinya!" kata April, tak bisa ditolak.

Maka, Aksa kembali mencelupkan sendok ke mangkuknya sendiri. Mengunyah potongan sawi yang telah lembek. Masih tak enak.

"Sa, tadi malem Papa gue telpon," kata April sambil memelintir bulir-bulir mie dengan ujung garpu. Kepalanya runduk pada permukaan mangkuk.

Papa April menelepon keluarganya hampir setiap hari. Biasanya, panggilan telepon dari belahan Asia Tengah itu datang pada pukul setengah sepuluh malam, yang artinya di New Delhi sana baru pukul delapan malam. Biasanya Mama dan Papa April akan berbincang dulu selama kurang lebih setengah jam, lalu telepon disalurkan ke pada April selama lima belas menit, kembali ke Mama April untuk setengah jam lagi. Iya, Aksa tahu sampai sebegitunya.

"Papa tanya gue mau kuliah di mana."

"Di UI, kan? Atau mau UGM aja?"

Mereka belum pernah membicarakan soal rencana pendidikan masa depan dengan serius. Hanya sesekali April menyebut-nyebut dua kampus paling prestisius di seantero negeri itu ketika Danang--yang sudah merinci rencana pendidikannya sejak SMP—bertanya akan mendaftar ke mana April setelah lulus. Aksa sendiri tidak pernah menyebutkan akan melakukan apa setelah lulus SMA. Untuknya, kuliah bukan satu-satunya pilihan. Sebab ia tidak pintar seperti Danang dan tidak punya banyak uang seperti April. Selama ini, ia menolak terlalu memikirkannya sebab menganggap saat-saat itu masih lama datangnya. Hingga tiba-tiba ia sudah berada di tahun terakhirnya di SMA dan saat-saat yang ia hindari itu menerjangnya tanpa aba-aba.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now