29. When The Day Bleeds

1K 108 3
                                    

Akhir-akhir ini Aksa begitu berjarak. Ia selalu punya kesibukan di mana Sara tak terlibat dan sengaja tidak dilibatkan. Sara telah cukup lama mengenal Aksa untuk tahu bahwa laki-laki itu memang tak pernah menjadi buku terbuka kepada siapa pun. Aksa adalah tumpukan kulit bawang yang untuk mengenalnya kamu harus bersedia mengelupasi kulit pelindungnya. Di akhir masa SMP mereka, Sara belum cukup tangguh untuk mengelupasi kulit bawang serumit itu.

Sebetulnya, meski mengaku sebagai sahabat untuk satu sama lain, Aksa dan Sara tak selalu menghabiskan waktu bersama. Di sekolah, mereka memiliki lingkaran pertemanan masing-masing yang tak selalu beririsan. Sara dengan teman-teman pengurus mading sekolah, Aksa dengan anak-anak cowok yang enggan terafiliasi dengan ekskul manapun supaya punya banyak waktu luang untuk main basket, futsal, atau sekedar nongkrong di warkop pinggiran.

Di atas itu semua, keduanya saling terkoneksi.

Koneksi itu langsung terbentuk pada pertemuan pertama. Seperti alamiah. Sehingga, tak peduli meski lingkaran-lingkaran itu tak pernah beririsan, atau garis-garis itu tak punya ujung yang saling bertemu, keduanya bersedia menyeberangi segala bentuk pembatas.

Sara berkunjung ke rumah Aksa setidaknya seminggu sekali, kadang-kadang membawa serta makanan cepat saji yang selalu dipesan Bunda dalam jumlah berlebih. Kadang mereka—Aksa dan Sara--berakhir di lapangan umum yang membatasi kampung tempat tinggal Aksa dengan kampung sebelahnya. Untuk menerbangkan layang-layang, jajan siomai, atau sekedar menonton sparing tim sepak bola amatiran. Kali lainnya, mereka akan mendampingi Anyelir menyelesaikan satu lagi agenda menirukan tips dan trik memasak dari Youtube.

Apa pun itu, kapan pun itu, Aksa selalu menyisihkan waktunya saat Sara datang. Kadang, Aksa memang tak banyak bicara, tetapi ia akan selalu meninggalkan PS jadul-nya, tumpukan tugas yang sudah nyaris menyentuh tenggat, serta rutinitas chatting dengan gebetan baru.

Kemudian, ia akan bertanya, "Lagi pengen apa?"

"Enggak, cuma bosen aja di rumah."

"Ya, kalo diem juga di sini, ujung-ujungnya bosen juga."

Tentang yang satu itu, Aksa keliru. Rumah Aksa adalah sebuah konsep pulang yang telah lama Sara idam-idamkan. Meski sama-sama tak memiliki kepala keluarga sebagaimana keluarga kebanyakan, Sara menemukan semangat masa muda pada sosok Anyelir dan mimpi-mimpinya yang berani. Ia menemukan kehangatan, ketegasan, kelembutan, dan kegigihan dari Ibu yang menjahit lembar demi lembar pakaian setiap harinya sembari mengerjakan apa pun yang bisa menyambung harapan untuk hari esok.

Namun, memang tak ada yang bertahan di tempat yang sama selamanya. Termasuk rumah Aksa dan Anyelir. Bangunannya tetap kokoh. Namun, kehangatan di dalamnya membeku dalam sekejap sejak kedatangan sesosok pecundang yang mengaku-ngaku sebagai ayah biologis Anyelir dan Aksa.

Sejak saat itu, rumah Aksa menjelma sebagai petak-petak penuh ranjau sehingga Sara harus bergerak serba hati-hati. Mau tak mau membuat Sara mengurangi frekuensi kunjungannya. Biar bagaimana pun statusnya tetap orang luar yang meminjam tempat pulang. Di saat yang sama, Aksa dan Anyelir memilih tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Mereka semakin jarang menghabiskan waktu di rumah. Tersisa Ibu, yang dengan segenap kekuatan berusaha mempertahankan tatanan lama, yang nyatanya memang tak bisa kembali ke tempat semula.

Aksa juga kerap menghilang dari kelas. Ia mulai berteman dengan orang-orang dari luar, membuat pertemuan-pertemuan yang tak pernah dibaginya dengan Sara, melalaikan PR dan tugas. Bukannya Sara tak pernah berusaha menarik lagi Aksa ke permukaan. Sudah ia lakukan semuanya.

Sara rutin mengirimi Aksa catatan pelajaran dan mengingatkan PR. Sesekali mentraktir siomai dan es cincau. Sara bahkan berusaha mengakrabkan diri dengan teman-teman futsal Aksa, yang kini juga sama bingungnya. Namun, yang Sara dapatkan justru rasa kehilangan yang kian terasa nyata.

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang