17. Lapis Terdalam

1.1K 127 14
                                    

Setelah menyampaikan kejujuran ke pada April, Aksa seperti mengemban aib yang terasa berat sekali kemana pun ia melangkah. Oleh sebab itu ia menggusur Aldi di bangku belakang. Memaksa duduk dengan Febri. Ia tahu April hanya akan mendiamkannya semata-mata untuk mengucap kata putus saat sudah cukup siap nanti.

Aldi tak banyak protes. Ia pendiam, pengertian, dan mudah diajak bekerja sama. Berbeda sekali dengan Febri si 'lambe turah'. Namun, sepanjang jam pertama kali ini, tak ada nasihat-nasihat sok bijak atau humor-humor bodoh yang keluar dari mulut Febri. Aksa cuma sempat mendengar cowok di sampingnya itu mencari-cari pinjaman penghapus, pinjaman pulpen biru—guru Akuntansi mewajibkan warna tersebut untuk mencatat pembukuan—dan pinjaman tip-x. Barangkali, Aksa memang terlihat terlalu berantakan sampai Febr tidak tega mengusilinya.

Jam istirahat tiba dan sebelum satu dering pertama bel habis, April datang ke padanya. Seluruh gerakan Aksa yang sedang membereskan buku-buku di meja terhenti. Ia kira saat-saat seperti ini tidak akan datang secepat ini.

"Sa—" April kesulitan menyelesaikan kalimatnya. Sementara, di samping Aksa, Febri mengendap-endap keluar sambil bersiul lirih.

Bisa dibilang, April juga terlihat berantakan dengan rambutnya yang kusut itu. Simpul dasinya lebih longgar dari yang diizinkan guru BK. Bayangan hitam bertengger di bawah kedua matanya.

Ini bukan pertama kali, gadis itu memiliki bayangan hitam di bawah kedua matanya. Malam-malam panjang jelang kompetisi debat seringkali memaksanya untuk meriset motion sampai larut malam. Namun, sebelumnya, cairan pucat yang seingat Aksa bernama concealer itu tak pernah gagal menyamarkan bayangan hitam maupun bintik-bintik coklat di wajah April.

Belum apa-apa Aksa sudah gugup dan merasa sedih. Ia kira, April membutuhkan waktu lebih lama dari ini untuk mempertimbangkan segalanya.

Kemudian, Aksa mengesah. Memangnya apa yang ia harapkan? April barangkali telah memutuskan beberapa menit saja setelah mendengar apa yang Aksa sampaikan kemarin; masa lalu gelap itu, rahasia yang disimpan Aksa sejak awal.

Namun, Aksa tetap tak bisa menyingkirkan tangisan April kemarin dari kepalanya. Momen saat kedua lututnya yang kecil berada dalam pelukan Aksa. Juga momen-momen berharga lainnya yang hanya mereka bagi berdua; obrolan tentang UI, UGM, dan kampus-kampus mahal di Belanda, kencan pertama di sebuah pasar malam di tepi kota, ciuman pertama, genggaman tangan pertama, mawar putih untuk Aksa dan mawar kuning untuk April.

Itu, menciptakan serentetan pertanyaan di benak Aksa. Apa tangisan April kemarin itu nyata? Apa cerita yang mereka punya kemarin itu nyata? Jika benar dan memang nyata. Mengapa hal yang berat seperti ini bisa terasa begitu mudah untuk April?

"Nanti pulang sekolah lo ada keperluan lain nggak?"

Aksa menggeleng. Jika nanti Febri tidak mengajaknya ke warkop depan sekolah, Aksa akan langsung pulang. Sekolah—langsung pulang—menukar pakaian—tidur siang. Seperti nasihat Ibu sejak Aksa duduk di Sekolah Dasar. Seperti anak baik yang tak punya catatan rehabilitasi.

"Enggak."

"Nanti, temenin gue ambil formulir lomba ke klub debat, ya? Setelah itu kita ke pasar malem deket rumah lo. Gue pengen naik biang lala dan makan sate usus."

Gue nggak lagi diputusin, kan, ini? Setelah itu semua nanti—satu putaran biang lala, selusin sate usus—gue nggak akan diputusin, kan?

Aksa ingin sekali menanyakan itu. Tapi, yang keluar dari mulutnya justru pertanyaan yang sama sekali berbeda. "Lomba debat? Bukannya udah pensiun?"

AKSARA [END]Where stories live. Discover now