23. Kikis

1.1K 108 13
                                    

Apartemen Johan punya pemandangan yang lumayan. Setidaknya, ketika kamu berdiri di tepi jendelanya yang lapang lalu menyisihkan tirai putih yang melapisinya, kamu akan menemukan lalu lintas panjang di bawah sana. Mengular tak putus-putus. Seperti Jakarta itu sendiri, kota yang tak kenal tidur. Berbeda dengan jendela kayu di kamar Aksa yang tak menawarkan pemandangan apa-apa selain gang-gang sempit yang gelap dan tembok-tembok lusuh.

Namun, saat ini, baik jendela apartemen Johan yang jernih dan jendela lapuk di kamarnya, membawa kemuraman yang sama. Aksa meremas kaleng minuman isotonik di tangannya sekali lagi. Bekas-bekas jarinya membentuk penyok di permukaan.

Mereka tak berhasil menemukan Thalita.

"Gue masih ada beberapa nama yang kemungkinan bisa bantu nemuin Thalita," tutur Johan sambil menggesekkan telapak kakinya di atas keset. Wajahnya basah dan seragam sekolahnya telah ditukar dengan pakaian rumahan.

Es di kepala Aksa sudah lama mencair. Ia tak lagi menemukan rasa percaya diri yang dingin dan keras itu. Setelah dari rumah Tante Nabila dan mendapat penolakan, mereka mengunjungi beberapa teman sekelas Thalita, nama-nama yang menurut Johan punya probabilitas terbesar masih menyambung serabut komunikasi dengan Thalita. Bahkan, dengan upaya paling putus asa, Johan melajukan motor Aksa ke tempat les Thalita pada awal SMA dulu. Semuanya, tak berbuah apa-apa.

"Masih ada besok," tambah Johan yang tak membantu apa-apa. Ia duduk di seberang Aksa sambil menyalakan rokok.

"Gue cuma takut telat, Jo."

"Telat? Emang lo nggak pake pengaman?"

Aksa melempar kepala Johan dengan kaleng minuman yang telah kosong. "Nggak lucu!"

"Supaya lo nggak terlalu tegang. Darah tinggi baru tau rasa!"

"Gue takut telat nolongin Sara kayak kita telat nolongin Thalita dulu."

Johan menyelesaikan satu isapan panjang lalu mengadu punggungnya ke sandaran sofa. Tubuhnya sedikit tertelan busa sofa yang empuk. Ia baru menyadari rasa lelah di badannya. Mereka memulai ini semua dari pagi sekali dan mengakhirnya jauh setelah gelap. Detik itu, Aksa juga baru bisa merasakan lengket di kulitnya.

"Sejak kapan lo sadar ada yang nggak beres sama Thalita?" Air muka Johan mengeruh. Ia menjentikkan abu rokoknya sembarangan ke lantai.

"Sejak dia nggak ganti-ganti cat rambut dan pake baju panjang-panjang. Aneh aja, dia kayak orang yang selalu ketakutan."

"Gue juga mulai curiga pas itu, tapi mana sempet sih gue mikir aneh-aneh kalau hampir 24/7 Dani sama kita. Maksud gue kapan dia sempet nyakitin Thalita?" Johan menggosok mukanya kasar. Aksa tersadar bahwa ia berbagi penyesalan yang sama dengan Johan. Bahwa, sama sepertinya, ada malam-malam panjang yang Johan habiskan hanya untuk bertanya-tanya apakah saat ini Thalita baik-baik saja.

"Sama lo, Sa." Johan menjeda untuk membasahi bibir. "Kalo sama lo, Dani ngaku pernah mukulin Thalita?"

Aksa mengode pemantik ke pada Johan sebelum mengeluarkan kotak rokoknya sendiri. "Malemnya, setelah Thalita keguguran, Dani nyamperin gue ke rumah."

Jantung Aksa seperti hendak melorot ke perut ketika menemukan Dani berjongkok di halaman rumahnya yang kecil. Berselubung hoodie hitam seperti buronan. Padahal, sesiangan itu, Aksa berkeliling ke berbagai arah untuk mencari Dani yang membolos sekolah.

"Dia nangis. Mohon-mohon supaya gue nggak berhenti jadi temennya."

Dani bahkan memeluk kaki Aksa saat itu dan meratap seperti pesakitan.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now