24. Kehilangan Diri Sendiri

1K 111 26
                                    

Selama beberapa hari setelah sesi sharing dadakan dengan guru BK tentang kampus-kampus impian itu, Sara masih berpikir ia hanya akan menikmati keberhasilan melalui try out dengan gemilang itu sendirian. Ia sudah berhenti berusaha memberi tahu Bunda tentang apa pun. Lebih-lebih, setelah perayaan ulang tahun Om Arif Firmansyah yang berlangsung kering itu.

Bayangkan saja, Bunda mengundang adik dan beberapa pegawai Om Arif Firmanysah ke rumah. Menyuruh mereka berdiri di ruang tamu yang dipenuhi pita-pita panjang warna-warni yang menjulur dari langit-langit. Lalu membagikan potongan tumpeng yang hambar.

Sementara Sara berupaya keras untuk tetap hadir. Meski, yang dilakukannya hanya berdiri di balik gaun hijau toska—warna kesukaan Om Arif Firmanysah—layaknya cangkang kosong. Menahan bosan dan kantuk.

Sara mencoba memberi tahu Dani. Namun, banyak hal membuatnya tak berhasil. Kadang-kadang laki-laki itu lebih dulu tenggelam dalam pikirannya sendiri dan tak menangkap apa yang Sara katakan. Lalu berakhir menceritakan kekacauan dalam keluarganya sendiri. Sara maklum. Toh, mereka masih punya banyak waktu. Selamanya. Seperti yang dikatakan Dani waktu itu.

Lagipula, medan pertarungannya tak seterjal medan pertarungan Dani. Rumah juga bukan tempat yang nyaman untuknya. Namun, setidaknya, Sara tak perlu merasa begitu kecil dan minder seperti yang Dani rasakan di rumahnya sendiri setiap hari.

Sampai, kemarin, Rina tiba-tiba mendapuk Sara sebagai mentor belajar kelompok.

"Ayolah, Ra, lo tega ngelihat nilai UN gue nanti telor bebek semua." Rina memohon. "Tapi, gue cuma bisa bahasa Inggris sama Kimia. Bahasa Indonesia seadanya banget, apalagi matematika."

"Nggak pa-pa, Ra. Itu juga udah mendingan banget. Lo mau gue kasih copy transkrip nilai gue yang mengenaskan semuanya itu?"

Sara terkikik. Lubang di hatinya yang sempat ia kira akan tetap kosong untuk waktu yang lama tiba-tiba terasa penuh. Pengakuan itu mengaliri hatinya sampai ke relung-relung terdalam. Lebih-lebih, saat Adel, Bulan, dan Nimas ikut berkerumun di bangkunya. Berebutan ingin bergabung. Sara merasa berguna dan penting. Sesuatu yang telah lama tidak ia rasakan.

"Kalo rame-rame gini, habis belajar kita renang, yuk! Kan, enak tuh habis kepala kebakar sama soal-soal latihan langsung nyebur ke air. Jangan lupa bawa baju renang semua, ya!"

Ide Rina segera mendapat koor persetujuan. Seperti Dani, Rina berada di daftar teratas siswa terkaya di sekolah ini. Ia bisa saja membayar bimbingan belajar eksklusiv. Namun, gadis itu justru memilih membuat kelompok belajar sendiri lalu melibatkan Sara di dalamnya dengan dalih tak suka diatur-atur orang asing.

Untuk apa pun itu, Sara merasa beruntung.

Sehingga, Minggu pagi kali ini, Sara bangun jauh lebih pagi dari biasanya. Menyiapkan modul-modul. Memastikan tidak meninggalkan selembar pun catatan. Ia juga mengemasi selembar baju renang ke dalam tasnya. Salah satu penghuni lemarinya yang paling jarang dikeluarkan.

Bunda membelikannya pada pertengahan kelas satu dulu. Sudah cukup lama, tetapi Sara yakin masih muat. Bobot tubuhnya stabil selama beberapa tahun terakhir dan baju renang navy itu terbuat dari bahan lycra yang lembut dan elastis. Jenis one piece tanpa lengan dengan belahan dada tak terlalu rendah. Ujung bawahnya yang menyerupai celana pendek barangkali akan jatuh di separuh pahanya. Masih cukup tertutup. Lagipula, mereka akan berenang di rumah Rina yang terlindungi dan tanpa kehadiran lawan jenis.

Dani datang lebih cepat dari yang Sara antisipasi. Belum genap pukul tujuh, laki-laki itu sudah membunyikan klakson mobil di tepi jalan di depan rumahnya. Sara berpamitan seadanya ke pada Bunda dan Om Arif Firmanysah. Mengarang cerita tentang ibu Rina yang telah memesankan bubur ayam untuk menghindari sarapan. Dan, menyebut sepotong nama perempuan asal-asalan tentang identitas penjemputnya supaya tidak ditanyai macam-macam.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now