4. Yang Berubah dan Tidak Berubah

2.6K 241 133
                                    

April menepati janji untuk menemani Aksa menyerahkan diri ke ruang BK. Gadis itu menanti di bangku besi di depan ruangan. Cowok yang diantarkannya justru tampak terlalu tenang. Berjalan dengan langkah ringan dan kepala tegak.

"Mukanya biasa aja atuh," goda Aksa tatkala menangkap gelagat cemas dari muka April. Mereka sudah tiba di depan pintu ruang BK yang setengah terbuka, di bawah tanaman gantung yang setengah mengering. Kalau saat itu tiba-tiba April meminta Aksa mengurungkan niat, Aksa akan menurut.

Apa pun yang diminta April darinya saat itu akan Aksa kabulkan. Sebab melihat wajah keruh April tiba-tiba saja membuat Aksa tak nyaman.

"Mukanya agak grogi dong! Kan, mau diskors."

"Diskors juga nggak akan ngaruh apa-apa." Tidak akan ada nilai yang turun, sebab nilai-nilai Aksa sudah berada di titik di mana guru-guru tak akan tega menguranginya lagi.

"Pril, kalo emang lo nggak kepengen gue masuk. Ya udah, enggak usah."

"Ih, keenakan di lo dong."

Padahal bukan begitu maksud Aksa, tetapi ia berkata. "Iya."

Sebab, masih terlalu prematur untuk memberi nama pada segala sesuatu yang kini ia rasakan untuk April.

"Udah lah, masuk sana!"

Dan, dorongan halus di punggungnya itu tiba-tiba saja sudah membawa Aksa melewati ambang pintu. Membawanya berhadapan langsung dengan Bu Nurani yang saat itu sibuk membolak-balik dokumen.

Wanita itu menatap Aksa dengan takjub. Menyaksikan Aksa datang ke ruang BK tanpa harus diseret Pak Prayoga adalah progres yang terlalu besar.

"Iya, Aksa? Ada perlu apa?"

"Saya mau buat pengakuan penting, Bu. Tapi, sebelumnya, saya mau minta air putih."

Bu Nurani memandang bergantian Aksa yang berdiri canggung dan dispenser di sudut ruangan. Lalu mengangguk masih dengan kebingungan.

"Iya, silakan."

Dengan gerak tentative, Aksa menadahkan gelas di bawah kran dispenser hingga penuh. "Saya bawa keluar ya, Bu."

Tanpa benar-benar memerhatikan apakah mendapat restu Bu Nurani atau tidak, Aksa menggeloyor keluar ruangan. Dilihatnya pundak April berjengit oleh kedatangannya.

"Udah selesai? Kok cepet?"

"Belum." Aksa mengulurkan gelas air putih kepada April, lalu mengguncangnya halus begitu gadis itu tak kunjung menyambutnya. "Udah diambilin juga."

"Buat gue?"

"Buat nyiram taneman," kata Aksa sarkastik. "Iyalah, buat lo. Supaya nggak pucet."

"Gue nggak pucet," protes April tapi tetap menerima air putih dari Aksa.

Aksa tetap di sana hingga April menyelesaikan satu tegukan besar. "Kan udah gue bilang, kalo kenal gue lo pasti jadi repot."

*

Peristiwa skors selama lima hari itu membawa perubahan besar untuk Aksa. Membuatnya seolah-olah terlahir sebagai individu yang baru dalam arti yang baik. Orang-orang di sekolah menyebut April sebagai sumber perubahan itu. Dari gadis itu lah Aksa memperoleh motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Padahal, tidak seperti itu cara kerjanya. April tidak mengubah Aksa, pun tidak pernah menuntut apa-apa. Aksa pun tidak pernah berjanji akan berubah menjadi malaikat untuk April. Hanya saja, kini Aksa tidak membolos sesering dulu, sebab membolos sama halnya mengeliminasi kesempatan untuk bertemu April di antara jam-jam pelajaran yang membosankan.

AKSARA [END]Where stories live. Discover now