15. Mengupas Masa Lalu

1.2K 129 13
                                    

Upaya-upaya Aksa untuk memperbaiki keadaan selalu mental. Pesan-pesan singkat, telepon, sambungan video, catatan suara, bahkan salam yang dititipkan melalui Danang hanya tak pernah dibalas. Seolah belum cukup buruk, dua tangal merah hadir beruntun.

Pada Rabu pagi itu, Aksa memanaskan mesin motor di halaman rumah. Ibu sampai berlari menyusul ke depan dengan satu tangan mengayun-ayunkan spatula kayu. Berkali-kali bertanya ada apa, hendak kemana, akan bertemu siapa. Sebab, pada hari libur biasanya, Aksa bangun lebih lambat dari azan zuhur.

Adiknya Febri mau ulang tahun, saya disuruh bantu-bantu ke rumahnya. Aksa tahu alasan itu bodoh dan putus asa. Febri tidak punya adik yang akan ulang tahun. Febri bahkan tidak punya adik sama sekali. Namun, Ibu meloloskannya meski dengan tatapan skeptis.

"Kamu jangan aneh-aneh lagi, ya!"

Aksa mengerti apa yang dimaksud Ibu. Ia mengangguk dan memaknainya.

Sesampainya di depan gerbang tinggi rumah April, Aksa tak tahu apa yang harus dilakukan. Firasatnya mengatakan apabila ia menekan bel di samping gerbang, ia akan bertemu dengan Mbak Ayu yang berkata agar Aksa berbalik pulang sebab April tidak mau ditemui.

Didorong perasaan putus asa, Aksa justru mendekati pohon jambu air yang ditanam di luar tembok yang memagari rumah April. Tingginya nyaris menyamai balkon, dahan-dahannya rimbun, bercabang sampai ke sisi dalam pagar. Dan, kali ini sedang berbuah.

Aksa menempatkan satu kakinya pada dahan terendah yang tampak ringkih. Satu kakinya yang lain mengambang di udara. Sementara kedua tangannya bergelantungan pada batang pohon. Ia terdiam beberapa detik, mengantisipasi derak patah di bawah kakinya. Tak ada. Ia kemudian melompati dahan yang lain, mematahkan beberapa ranting, hingga mampu menjangkau bagian atas tembok yang retak-retak dan berlumut.

Aksa merenggut satu buah jambu yang paling merah. Mengizinkan dirinya sendiri mendapatkan asupan air berlimpah yang manis sekali itu. Baru kemudian a mendarat dengan tidak terlalu mulus pada sepetak rumput yan meranggas. Tidak semua sisi di rumah besar ini terawat dengan baik. Seperti halnya ruang-ruang di dalamnya yang tidak selalu dikunjungi setiap hari oleh April maupun mamanya.

Kadang-kadang memang begitu, kita tak punya waktu dan energi yang cukup untuk mengurusi hal-hal yang besar. Seindah apa pun itu.

Aksa masih ingat letak kamar April. Ia pernah mengunjunginya satu kali. Saat mama April sedang reuni ke luar kota (sebetulnya, hanya ke Bekasi) dan gadis itu meminta bantuannya memasangkan paku di dinding. Kamar April berada di lantai dasar, di sebelah utara pintu depan.

Dua jendela tinggi yang dilapisi tirai putih berenda. Sebagian cat yang terkelupas. Pot-pot yang diisi semacam tanaman rambat yang menjuntai ke tanah di bawah jendela. Begitu merasa cukup yakin, Aksa pun mengetuk kaca jendela itu.

Ia menemukan bayangan di balik tirai bergerak dan mendekat. Jari-jari yang ramping menggeser tirai dan April yang terbelalak mewujud di depannya. Aksa menghela napas lega. April belum tentu akan memaafkannya, tetapi setidaknya ia tidak mengetuk jendela yang salah.

"Lo ngapain di sini?" Suara April teredam kaca tebal di antara mereka.

"Bukain!"

Wajah April memerah dan Aksa tahu itu karena ia kesal. "Sebentar aja!"

April merunduk untuk membebaskan tuas pengunci. "Buka sendiri."

Aksa mendorong daun jendela dengan tenaga berlebih sampai ia nyaris terjerembab ke dalam. April menatapnya dengan tangan bersedekap, wajah kebingungan, dan menjaga jarak.

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang