28. Peti Rahasia

1K 99 12
                                    

"Jadi sudah dipertimbangkan mau ikut program yang mana?" tanya Bu Nurani dengan nada lembut keibuan.

"Belum," tutur Sara lemah.

Ingatan tentang Dani, ayahnya, dan peristiwa di kamar Dani tempo hari membanjiri kepala Sara. Seolah diulang untuk kedua kali. Rasanya, ia masih membawa sensasi dingin, tegang, dan tak berdaya selama ia duduk di atas kloset kamar mandi Dani itu kemana-kemana, sampai hari ini dan entah berapa lama.

"Mungkin saya mau ambil swasta di dekat-dekat sini saja, Bu," tutur Sara gamang. Saya harus jagain Dani.

Sara tak terkejut mendapatkan balasan berupa tatapan skeptis dari Bu Nurani. "Kok gitu?"

"Saya mau di Jakarta aja, Bu. Tapi, saya sadar diri kalau kemungkinan saya keterima di universitas negeri di Jakarta itu kecil banget. Jadi, saya akan coba mulai cari kampus swasta yang cocok."

Di atas meja kerjanya, Bu Nurani kembali membentangkan brosur warna-warni—brosur-brosur yang sama seperti yang ditunjukkannya dua minggu lalu. Sara hampir menangis melihat potret sekelompok mahasiswa Kaukasian dalam toga biru muda terang, melemparkan topi tinggi-tinggi dengan senyum secerah matahari dan latar belakang bangunan megah menyerupai kastil Hogwart dengan pucuk-pucuknya yang lancip.

Seandainya Sara menjadi satu dari anak SMA beruntung di luar sana, yang punya pilihan untuk melanjutkan studi di belahan bumi mana pun. Kesempatan mengecap empat musim setiap tahunnya, tiket melarikan diri, kesempatan untuk memulai semuanya dari awal, membangun lagi segenap dirinya yang pernah lebur.

Namun, memang hanya ada sedikit orang yang beruntung di bumi ini. Keleluasaan untuk mewujudkan apa yang benar-benar diinginkan seringnya hanya datang pada segelintir orang saja, oleh sebab itu kita menyebut mereka beruntung. Untuk banyak orang yang lain, seperti Sara, akan selalu ada tembok-tembok kokoh yang tak bisa dijangkau, yang harga dan resikonya terlalu besar untuk ditebus jika kita nekat melompat dan menyeberang. Kadang, pilihan yang tersisa memang hanya menerima.

Untuk Dani, Sara bersedia menerima apa saja.

"Sudah bicara dengan orang tua?"

"Sudah, Bunda nurut apa yang saya mau."

"Sara, kalau kamu cemas dengan biayanya, saya bisa rekomendasikan beberapa channel beasiswa." Bu Nurani menyebutkan beberapa nama lembaga pemerintahan, BUMN, hingga perusahaan swasta. Masing-masing membuka program beasiswa setiap tahunnya.

"Saya nggak tertarik kuliah di luar negeri, Bu. Lagipula saya nggak sepintar itu."

Ketika Bu Nurani memungut lagi brosur-brosur yang berceceran di meja dan melipatnya sesuai lekuk jaring-jaring yang membekas di sana, Sara merasa sedang mengucapkan selamat tinggal.

"Saya nggak bisa paksa kamu, Ra. Pada akhirnya, sebagai guru saya cuma bisa berharap apa pun pilihan yang kamu ambil untuk masa depan kamu dilandasi pertimbangan yang matang, bukan karena kamu tidak percaya diri."

Bu Kumala terlihat seperti Bunda yang dulu. Bunda sebelum mereka pindah ke Malang. Sebelum Sara dan Aksa terluka begitu banyak dan harus saling memisahkan diri agar tidak terluka lebih banyak lagi. Saat mereka hanya punya satu sama lain, tanpa Ayah untuk Sara maupun suami untuk Bunda, tapi percaya bahwa mereka mampu menghadapi apa saja.

"Kalau boleh saya berpesan, jangan tiba-tiba memutuskan untuk masuk swasta dulu. Bukannya saya menganggap kampus swasta pasti lebih jelek dari kampus negeri. Enggak sama sekali, saya dulu S1 juga di kampus swasta. Tapi, kalau bisa masuk negeri lewat jalur tes, kenapa enggak? Bisa hemat uang gedung, kan? Lagipula, Jakarta sudah terlalu penuh, nggak ada salahnya keluar dari kota ini."

AKSARA [END]Where stories live. Discover now