21. Satu-Satunya

1K 122 12
                                    

Ada kabar baik yang ingin Sara sampaikan ke pada Bunda. Sejak ia turun dari mobil Dani yang memberinya tumpangan pulang, mendorong pintu depan, lalu menyampirkan tali tasnya di kapstok dan menyimpan sepatunya di kolong dipan. Bunda ada di dapur, merunduk pada pantry hingga punggungnya agak melengkung ke depan. Sesuatu di balik tubuhnya itu—yang menyita seluruh perhatian Bunda—tak tampak dari tempat Sara berdiri. Gadis itu kemudian berjalan hati-hati, menarik kursi bundar di samping Bunda demi mendapatkan lirikan singkat.

"Makan dulu, Ra!"

"Iya, Bun, bentar lagi. Bunda lagi apa?"

Sara melongok di atas siku Bunda yang tertekuk di atas pantry. iPad Bunda terbaring di sana, layarnya yang terang memaparkan kolase foto-foto tumpeng yang bergulir-gulir seiring gerakan jari-jari Bunda.

"Lihat-lihat tumpeng. Lusa, kan ayah kamu ulang tahun? Kamu lupa?"

Sara tidak lupa. Ia memang tidak tahu dan merasa tidak perlu tahu. Ia bahkan tidak yakin dirinya memang memiliki ayah dan bukannya suami baru Bunda.

"Lupa, Bun," kata Sara, terdengar lebih sinis dari yang ia maksudkan.

"Kebiasaan, deh. Bund, kan udah sering ngingetin, catat tanggal-tanggal penting. Biarpun kelihatannya sepele, tanggal-tanggal penting itu bisa sangat berarti buat orang lain."

"Iya-iya." Sara sudah merogoh saku celananya, merasakan lagi tekstur kertas berisi transkrip nilai try-out pertamanya. "Eh, Bun, tadi—"

Namun, Bunda lebih dulu berseru. "Lihat, deh, Ra. Ini bagus nggak? Kayaknya bikinnya gampang."

Kemudian, seluruh ruang pandang Sara kini hanya berisi selembar layar iPad yang disodorkan Bunda persis di bawah hidungnya. Sebentuk tumpeng kerucut dengan toping warna-warni itu sampai-sampai membuat mata Sara menyipit. Sebab layarnya terlalu terang, sebab tumpeng heboh seperti itu seharusnya hanya cocok untuk merayakan ulang tahun anak kelas enam SD.

"Bagus nggak?" Bunda mengguncang iPad pipih itu sekali lagi. Sara tersentak dan mengangguk.

"Bunda nggak sabar bikinnya. Kalau Bunda belanja dari sekarang aja, gimana menurut kamu?"

Bunda boleh belanja bahan-bahan memasak tumpeng itu hari ini, atau besok, atau tahun depan. Tapi, tunggu Sara menyelesaikan ini dulu. "Iya, terserah. Bun, tadi nilai try-out pertamaku keluar."

"Pasti hasilnya bagus. Bunda percaya sama kamu."

Padahal, Bunda tak perlu terlalu percaya. Sara akan menerangkan nilai-nilai itu dengan mendetail, juga peluang mendaftar beasiswa di kampus-kampus megah seperti Hogwart nun jauh di luar negeri seperti yang dikatakan guru BK tadi siang. Bunda cuma perlu bertahan di sana sedikit lebih lama, mengunci sebentar layar iPad-nya yang terang sekali itu, saling mendengarkan seperti mereka yang dulu.

Namun, dalam sekejap Bunda sudah berlari ke kamarnya. Kambali lagi dengan tas kecil dan kardigan tipis.

"Kamu mau ikut, Ra?" tanya Bunda sambil memperdengarkan gemerincing gantungan kunci mobil.

"Enggak. Pasti lebih gampang kalau sendiri, Bunda nggak perlu repot-repot dengerin aku."

Kedua alis Bunda menukik tajam. Sara ingin menyesali perkataannya barusan, demi masa-masa sulit mereka di Malang dulu, demi pengorbanan Bunda melepas pekerjaan lamanya. Tapi, Sara tak mendapatkannya. Saat Sara melihat Bunda, yang ia dapatkan hanya perasaan ditinggalkan.

"Nanti, kita ngobrol lagi, ya."

Berikutnya, Sara mendengar pintu garasi yang diangkat dan deru mesin mobil. Tak akan ada nanti atau lain kali. Mereka tak akan pernah membicarakan nilai try out, kampus-kampus megah, beasiswa, atau apa pun itu.

Dulu, Sara tak perlu menunggu untuk sekadar membagi apa saja yang ia lewati di sekolah. Tak pernah berada di urutan kedua. Tak perlu menyusun pembukaan. Tak perlu menyensor apa-apa.

Sara berusaha menelan kembali segala bentuk kekecewaan itu. Diambilnya lagi tas dan buku-buku latihan UN. Memakai sepatu asal-asalan. Ia akan mendapatkan beasiswa itu dengan atau tanpa persetujuan Bunda. Menjadikannya tiket melarikan diri.

*

Dani menyambutnya dengan rambut kusut, suara serak, dan kaus rumahan dengan bekas-bekas lipatan yang kentara. Melihat mata Dani yang masih memerah membuat Sara merasa tak enak telah mengganggu waktu tidurnya. Namun, seperti yang ia rasakan di dalam angkot tadi, berputar-putar tanpa tahu harus turun di mana, Sara tak punya tujuan lain. Suaka-suakanya, satu persatu luruh dan menghilang. Hanya Dani yang tinggal. Hanya Dani yang tersisa.

"Masih ngantuk ya? Tadi kaget dibangunin Mbak Tari?" tanya Sara sembari menurunkan tasnya di tempat tidur Dani yang sprei pelapisnya mengerut di beberapa sisi. Cowok itu sedang merentangkan bingkai jendela untuk memberi mereka pasokan oksigen lebih banyak.

"Enggak."

Namun cowok itu mengucek matanya dengan frekuensi rapat. Dani duduk di atas karpet. Meringkuk kecil dengan kepala menyandar di tungkai kaki Sara seperti anak kucing.

"Kok tumben tiba-tiba ke sini nggak chatt dulu? Kan, aku bisa jemput."

"Mau kasih surprise."

"Bohong, deh."

Sulit membohongi Dani untuk hal-hal sekecil apa pun. Ia selalu bisa mendengar apa yang tak disuarakan. Itu, cukup merepotkan sebab kita harus belajar hidup tanpa rahasia. Namun, untuk Sara saat ini, itu terasa sebagai sesuatu yang tak ternilai. Menyenangkan rasanya bisa dipahami tanpa harus banyak menjelaskan.

Sara mengejutkan diri sendiri dengan tiba-tiba turun di depan rumah Dani. Berdiri dengan bingung di depan gerbang menjulang yang membuatnya merasa amat kecil. Tidak tahu apakah seharusnya membunyikan bel atau mencegat angkot lagi. Ia bahkan tidak tahu apakah Dani ada di rumah. Hingga satpam rumah Dani yang sudah cukup familiar itu memergokinya, membukakan gerbang dan memanggilkan Mbak Tari. Semuanya, seperti alami. Seperti sudah sewajarnya terjadi.

Kepala Dani yang masih merekat di kakinya terdongak. Matanya masih memerah, tapi memandangnya dari atas membuat wajah Dani tampak lebih kekanakan, polos, tulus.

"Aku seneng kamu ke sini, Ra."

Penerimaan itu datang dengan telanjang dan tulus. Begitu saja. Begitu apa adanya. Bahkan tanpa pertanyaan. Tidak adil rasanya, jika Sara terus saja menutup diri. Maka, Sara pun mengatakannya. Mengalirkan cerita tentang Bunda, Om Arif Firmansyah, kepindahan ke Jakarta, tumpeng norak warna-warni, dan perasaan tak diinginkan yang berkembang dari hari ke hari.

Sara tahu ia terbata-bata. Dan, ceritanya barangkali tidak runut. Namun, Dani selalu mengerti.

Ia kini berjongkok di depan Sara. Membungkus tangan Sara dengan miliknya. "Jangan nangis, Ra."

Namun, Sara tidak bisa begitu saja berhenti menangis hanya karena Dani memintanya berhenti. Isakannya justru bertambah hebat. Ia sudah menahannya selama di rumah tadi, di angkot, di depan gerbang rumah Dani.

Dani mengangkat tubuhnya dari atas karpet dan berpindah ke samping Sara. Ia melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Sara. Memeluknya dengan caranya yang biasa, yang hanya Dani yang bisa.

"Kamu punya aku, Ra. Dan, selama kamu sama aku, kamu nggak butuh siapa-siapa lagi."

Benar bahwa sesekali Dani bisa sangat marah dan menyakitinya. Tapi, Dani juga selalu punya cara untuk membuatnya merasa istimewa, diinginkan, dibutuhkan. Bahwa, eksistensinya bermakna. Bersama Dani, Sara tak pernah merasa jadi nomor dua, menunggu antrean, meminta izin untuk bercerita. Dani selalu berada di titik yang sama, dengan tangan dan pelukan terbuka.

Dani benar, Sara memang cuma punya laki-laki itu dan ia seharusnya merasa cukup.

[.]

AKSARA [END]Where stories live. Discover now