10. Bertemu Kembali

1.4K 153 16
                                    

Mengenai anak baru secantik Sissy Pricillia itu, Aksa belum mengetahui lebih lanjut. Tidak ingin tahu. Tidak merasa perlu tahu pula. Setidaknya, sampai beberapa detik yang lalu.

Aksa, bersama tiga lusin teman sekelasnya sedang melaksanakan lari santai mengelilingi areal sekolah. Bentuk pemanasan sebelum mendapat materi inti pelajaran olahraga hari itu. April menjadi satu-satunya siswa yang absen, perutnnya kram karena menstruasi hari pertama dan Pak Luthfi—guru penjaskes yang kini menunggu di lapangan basket dengan seuntai peluit terjepit di mulutnya—mengizinkan gadis itu beristirahat di UKS.

Ketika memutari lapangan futsal di ujung lain areal sekolah, nafas Aksa sudah mulai tak teratur. Bagian belakang kaus olahraganya melekat di pungung, lengket oleh keringat.

"Kebanyakan mager sih lo!" Febri—yang berlari menyertai sisi kanan Aksa—menyadari nafas Aksa yang besar-besar dan berisik.

Aksa meliriknya dari sudut mata dan menemukan wajah Febri yang bersimbah keringat. "Ngaca!"

Febri tiba-tiba berhenti. Merunduk dengan kedua tangan memegangi tempurung lutut.

Aksa melambatkan laju larinya dan menoleh ke pada Febri yang tertinggal beberapa langkah di belakang. "Kenapa sih? Udah nggak kuat?"

"Itu tadi si anak baru!" kata Febri, matanya memandang melewati bahu Aksa. Berlabuh entah ke pada apa pun di belakang punggungnya.

Aksa sudah akan berlari lebih kencang lagi kalau saja Febri tidak menambahkan, "Tambah cantik, man, si Sara kalau rambutnya diiket begitu."

Itu menghentikan seluruh pergerakan Aksa sama sekali. Barangkali, juga degup jantungnya. Aksa menggelengkan kepala. Di dunia ini, pasti tidak hanya satu orang yang memakai nama itu, kan?

"Anak baru itu namanya Sara?"

Febri mengangguk, bersiap menyelesaikan trek lari dengan air muka lebih cerah.

"Nama lengkapnya Sara Adriani, bukan?"

Febri mengedikkan bahu. "Ya, mana gue tau, Sa."

Ia menepuk bahu Aksa sekali. Mengajak berlari. Mereka sudah tertinggal jauh sekali di belakang teman-temannya.

Aksa membalik badan, mengikuti ke mana arah mata Febri tadi menuju. Ia memindai dengan gugup; pintu-pintu kelas yang terkatup, pot-pot gantung dengan rumbai akar tanaman di depan selasar, lorong-lorong yang sepi.

"Tadi Sara-Sara itu ke arah mana, Feb?"

Febri menyipitkan mata dengan muka jahil, tetapi tetap menjawab. "Noh, ke ruang BK. Mau lo susulin? Kepo juga kan lo aslinya?"

Aksa menggeleng, selamanya tidak akan siap menjelaskan.

Ia berjongkok untuk menautkan kembali tali sepatunya yang belum sepenuhnya terburai. "Duluan sana! Gue masih mau napas."

Aksa bersyukur Febri tidak bertanya lebih lanjut. Ketika bayangan temannya di atas rumput itu menjauh, Aksa menegakkan tubuh. Simpul tali sepatunya lebih kuat sekarang, tetapi tulang-tulangnya terasa lemah. Seperti agar-agar yang bergetar setiap digerakkan. Aksa membawa tubuh agar-agarnya itu ke selasar di sisi utara lapangan futsal. Memanjat satu demi satu anak tangga yang akan membawanya ke lantai dua.

Aksa tak mengerti mengapa ia bisa menggigil, sebab tubuhnya baru saja terbasuh keringat. Aliran darahnya seharusnya masih deras. Dan, Sara-Sara itu juga belum tentu Sara yang ia pikirkan. Anak baru itu bisa saja individu yang sangat lain ; yang tidak suka makanan pedas, yang tidak suka warna kuning, yang tidak suka memilih acak film-film di bioskop lalu marah-marah begitu mendapati film yang ditontonnya jelek, yang tidak pernah Aksa kecewakan.

Namun bagaimana jika sebaliknya? Jika anak baru itu benar-benar Sara yang kini bayangan-bayangannya melintasi kepala Aksa seperti kereta listrik? Apa yang akan ia katakan? Apa yang seharusnya tidak ia katakan? Apa yang akan ia lakukan? Apa yang seharusnya tidak ia lakukan?

Aksa duduk di bangku besi di depan ruang BK. Seperti April saat mengantarkannya dulu, barangkali juga dengan kecemasan yang sama. Bedanya, tak akan ada seseorang yang membawakannya segelas air putih seperti yang ia lakukan untuk April dulu.

Rasanya begitu lama sampai terdengar derit pintu dan langkah kaki. Dan, Aksa mendongak. Dan, Aksa melihatnya ... melihat Sara.

Aksa bahkan tak mengangkat tubuhnya dari kursi. Tak mau. Sebab, jika ia melakukanya, ia pasti akan menghambur ke pada Sara dan memeluknya. Bukan hanya karena itu tidak etis dilakukan di lingkungan sekolah, tetapi Sara juga pasti akan menolak. Sara akan semakin membencinya.

Benar kata Febri, Sara tumbuh semakin cantik. Dulu, kulit Sara tidak secerah sekarang. Rambutnya rutin dipangkas sebahu tiap beberapa bulan sekali. Aksa sering menungguinya sambil terkantuk-kantuk di salon langganan mereka. Kini, rambut Sara menyentuh pinggang, diikat tinggi dengan karet spiral warna kuning. Ujung kepala Sara barangkali tak akan mencapai telinga Aksa, tetapi gadis itu menjulang sangat tinggi dari yang terakhir Aksa ingat.

Sara bisa saja berlari atau pura-pura tak mengenali Aksa. Kedua-duanya akan Aksa maklumi. Namun, gadis itu terdiam di tempatnya. Ujung-ujung jarinya yang mengapit map kertas abu-abu tampak gemetaran. Aksa tak bisa membaca apa-apa dari sepasang mata Sara yang terbelalak dan kebekuan di wajahnya.

Aksa melambaikan tangan dengan cara serupa yang ia lakukan pertama kali dulu. Pada hari pertama mereka memulai tahun SMP.

"Maaf ya, kita harus ketemu lagi." Aksa gagal menstabilkan parau dalam suaranya.

Ia senang melihat Sara baik-baik saja, tumbuh begitu baik dan cantik. Aksa mensyukuri pertemuan ini sebanyak pertemuan pertama mereka dulu.

"Gue tau lo udah berusaha sangat keras buat ngehindarin gue. Tapi, ujung-ujungnya nasib tetep bikin kita ketemu lagi. Gue minta maaf buat itu, meski nggak bakal ngerubah apa-apa juga."

Aksa menahan rasa pengar di ujung hidungnya. Ia tidak akan menangis, kan?

"Tapi gue nggak bisa apa-apa, Ra. Gue nggak mungkin pindah sekolah, kan? Udah kelas tiga, nanti ribet."

Aksa bertahan menatap Sara yang menolak memandang balik. "Terimakasih ya, sudah baik-baik saja selama ini."

Sekejap tadi. Beberapa detik saja, Aksa sempat berhalusinasi tentang Sara yang balas melambai kepadanya. Tersenyum, mengisi ruang kosong di sebelahnya, menjulurkan tangan untuk memukul kepalanya main-main. Seperti waktu yang lampau itu. Mengatakan kata-kata yang Aksa ingin dengar setengah mati, sampai-sampai terasa sakit sebab Aksa tahu selamanya ia tak akan mendapatkannya. Iya, Sa, lo gue maafin. Lo tetep sahabat gue paling nyebelin seumur hidup.

Akan tetapi, Sara justru memutar dan berlari ke arah yang berbeda. Halusinasi itu pupus. Kembali ke tempat seharusnya ia berada; tempat sampah. Harapan Aksa terbenam lagi ke dasar bersama seripahan-serpihan diri Aksa sendiri.

Tak ada kata maaf. Tak ada kesempatan kedua. Tak ada persahabatan yang dibangun kembali. Tak ada Aksa dan Sara yang menjadi suaka untuk satu sama lain. Semuanya telah berhenti jauh lebih awal dari yang Aksa kira.

Dengan bagian-bagian dirinya yang tercerai berai sepanjang lorong itu, Aksa beranjak, berdiri, berjalan sekali lagi meninggalkan Sara.

[.]

AKSARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang