25. Dia yang Telah Jatuh Cinta

1.1K 103 7
                                    

Pagi itu, April bilang ia capai dan tidak mau membahas apa-apa. Jadi, Aksa hanya menyisih sebentar untuk membiarkan perempuan itu mengisi kursinya. Diperhatikannya perempuan yang segera mengeluarkan buku latihan soal SBMPTN super tebal dari tasnya itu, menyingkap sampulnya yang pipih kemudian menekuri salah satu halaman yang dipenuhi garis stabilo warna-warni.

"Kalau capek istirahat dulu, Pril," kata Aksa, murni sebagai bentuk perhatian. Bukan sarkasme sebab pacarnya itu menolak berbicara lebih lanjut soal kesalahan Aksa kemarin.

"Gue capek sama lo, bukan sama belajar." April yang biasanya berbicara dengan penuh energi, sampai tak jarang suaranya terdengar melengking, kini mendesis tajam.

Aksa tak menyangka akan mendapatkan balasan sepedas itu. "Capeknya gimana?"

April yang capai adalah sesuatu yang baru bagi Aksa. Lebih mudah menghadapinya yang marah atau merepet.

Aksa menatap April sekali lagi, yang ujung hidungnya hanya berjarak beberapa centi meter dari halaman buku. Segala sesuatu tentang garis wajahnya tampak lelah. Rambutnya bahkan tidak terkumpul dengan rapi dalam simpul pita di belakang kepalanya. Aksa tak tega melanjutkan konfrontasi ini.

Biar bagaimana pun, April bukan rumput liar sebagaimana dirinya. Ia tak bisa dan tak boleh tumbuh sembarangan di tepi jalan. April punya pot-pot besar yang nyaman untuk tumbuh, untuk berkembang, untuk berbunga. Tidak peduli setidak acuh apa April terhadap nilai akademis pada awal masa sekolah dulu, pada akhirnya jalur inilah yang harus ia tempuh, yang sudah dipersiapkan untuknya; tes-tes rumit itu, bimbel yang mahal, jam belajar yang ketat.

"Gue cuci muka sebentar. Lo mau nitip makanan di kantin?"

April menggeleng tanpa kata-kata. Barangkali tak menyangka Aksa akan meloloskannya dengan mudah. Sejujurnya, yang April tak tahu, Aksa sedang ketakutan. Ia tak tahu harus dengan cara apa rasa lelah April ditebus? Apakah dengan berpisah? Putus?

Aksa berjalan ke toilet siswa di gedung belakang. Lumayan sepi, jadi ia bisa sekalian merokok. Aksa berjalan sembari memastikan kotak rokoknya telah duduk manis di saku celana. Masih ada lima belas menit sebelum bel pertama berdering.

Toliet belakang agak kumuh dibanding toilet-toilet siswa di gedung depan dengan sisa-sisa jejak kaki di lantai yang telah mengering entah sejak kapan. Saat masuk lebih dalam, hanya satu dari tiga bilik yang pintunya dirapatkan. Dua lainnya terbuka dengan daun pintu yang telah melapuk.

Aksa merapat pada salah satu wastafel, memandang pantulan wajahnya pada retakan-retakan kaca di dinding. Saat merenduk untuk menampung air dari kran, ia mendengar derit pintu yang direnggangkan lalu diikuti derap langkah kaki, yang kemudian berhenti persis di sampingnya. Sosok itu segera saja menguasai wastafel yang lain.

Aksa menyelesaikan proses cuci mukanya pelan-pelan. Bertemu Dani di toilet kumuh ini memang mengejutkan, tetapi ia tak akan terintimidasi oleh tatapan sinisnya yang memantul dari retakan kaca itu.

"Tumben ketemu gue nggak langsung kabur?" tanya Dani sembari membasahi dagunya. "Gue nggak pernah kabur dari apa pun."

"Bagus deh kalo gitu. Mungkin, kali ini kita bisa reunian sambil ngomongin mantan sahabat lo. Pacar gue. Gimana?"

Aksa menggertakkan gigi. Ingin sekali dihantamnya wajah arogan itu seperti yang dilakukannya di halaman rumahnya setahun lalu. Namun, diredamnya keinginan itu kuat-kuat sampai tungkainya gemetaran. Dani tak boleh memenangkan apa-apa kali ini.

Aksa mencipratkan sisa-sisa air di jarinya ke kaca. Membuatnya seperti rintik gerimis yang bergulir di jendela. "Lo tau kenapa gue sama Sara bisa jadi mantan sahabat?"

AKSARA [END]Where stories live. Discover now