[Chapter 35] || Vivid Dream

415 112 605
                                    

- Vivid dream -
\
\

Maudy tidak yakin apa sebelumnya pernah terbangun dalam kondisi begini : perasaan memburuk.

Apalagi, menilik posisi tidurnya yang asal, pakaiannya yang belum terganti, serta sinar yang menyeruak di celah jendela menegaskan jika Maudy kalah terjaga dari eksistensi matahari — sedikit membingungkan. Maudy bukan tipe tidur berantakan sebenarnya.
Dan walaupun pemikir, biasanya Maudy meluangkan pikiran kosong dalam kurun waktu pasca bangun sampai mandi.

Berkat kondisi paginya berbeda, otak Maudy otomatis bekerja. Coba mengingat yang terjadi sebelum tidur, tapi yang didapat malah serangan pening. Memang berapa lama ia tertidur?

"Baru bangun anak gadis? Udah jam 9 loh. Baru mau Bunda bangunin."

Atensi Maudy teralih pada Bunda yang masuk kamar. Menambah kadar tak nyaman hatinya.

"Kenapa? Pagi-pagi kok udah mikir, tumben?" tanya Bunda lagi setelah ambil ponsel-nya yang tercharger.

"Kayaknya Ody kena mimpi buruk," Maudy merungut. "Gaenak banget hatinya."

"Mimpi buruk gimana?"

Dibalas Maudy dengan mengangkat bahu. Kemudian sebuah potongan adegan dirinya bersembunyi di ruangan kecil, muncul. Disusul perasaan panik.
"Whoa, kayaknya mimpi hantu. Tempatnya mencekam banget," seru Maudy tiba-tiba.

"Gak baca doa tidur ya? Bablas subuhan lagi. Ditegur Allah tuh berarti," timpal Bunda. "Yaudah mandi, biar sarapan. Orang-orang udah pada nimbrung tuh diruang utama."

Melihat Bunda akan pergi, perasaan Maudy makin kalut. Jadi ia berdiri dan mendekap wanita itu dari belakang, tepat sebelum membuka pintu.

Bunda tertegun. "Kenapa sayang?"

"Gatau. Pengen meluk Bunda aja," ujar Maudy. "Tuh kan, mood Ody baikan? Bunda kayaknya penangkal efek mimpi buruk deh."

Tanpa Maudy sadari, raut wajah Bunda sesaat getir — sebelum membuat kekehan. "Bisa aja anak Bunda. Yaudah, mandi. Ody bau."

"Bohong banget Bunda," seru Maudy, mengecup pipi Bunda sekilas sebelum bersiap mandi.

Ruang utama ramai sampai ke halaman rumah. Ada yang menonton, berbincang, juga para bocah lari-larian. Minus para remaja karena mereka pergi sejak pagi — kecuali Maudy yang baru bangun.

"Katanya mimpi buruk," tutur Indi pelan.
Pendengarnya Damar, Herdi, Teddy dan Rita — bicara di salah satu sudut ruang utama, tersamarkan keramaian yang lain.

"Dia cerita?" tanya Rita.

Indi menggeleng. "Gatau katanya. Tapi tiba-tiba bilang serem, tempatnya mencekam."

"Reaksinya gimana?" Damar yang bertanya.

Wanita di kursi roda itu diam, tampak menimang.

"Panik Ndi?" tebak Rita, kentara penasaran cemas.

Dan Indi membalas dengan gelengan lagi, menghela napas. "Biasa sih. Ga seburuk itu. Sewajarnya orang yang dapat nightmare lah."

Kompak mereka menghela napas. Herdi menyahut, "Maafin Kayla ya Tante. Nanti Herdi bakal ngomong ke Kayla buat ga minta Ody main gitar lagi."

"Jangan dimarahin tapi ya Her. Kayla kan gatau apa-apa," balas Indi. "Cuma, Tante khawatir Ari."

"Jangan dipikirin Tante. Ari kan udah gede, ga bakal kenapa-kenapa. Dia pasti udah nerima keadaan kok," tutur Teddy menenangkan.

Diam lagi sejenak. Lalu Damar berkata, "Yaudah, kita bersikap normal aja, seolah ga terjadi apa-apa. Masalah gitar, gausah dibahas ke Ari, dan masalah mimpi Ody, anggap wajar. Lagian Ody ga keliatan bermasalah — selain tidur lama, mungkin karena capek. Jangan terlalu dipikirin Ndi... Bisa dipertanyakan kalau kita kelihatan khawatir."

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now