[Chapter 14] || Tahun (yang) Baru

668 218 1K
                                    

- Tahun (yang) Baru -
\
\

Alasan kenapa Maurin takut Ayah dan Bunda tahu perihal kecelakaannya, itu karena Maurin pernah ditentang pakai motor.

Meski sudah bisa berkendara sejak usia 12 tahun, Ayah tidak mau ambil resiko. Tidak ada yang tau petaka dijalan, apalagi setelah kecelakaan Bunda. Tapi Maurin terus membujuk setengah merengek, yang pada akhirnya bikin Ayah luluh. Jadi ulang tahun kemarin Ayah menghadiahi motor matic, dengan syarat yang terus ditekankan :
"Pake untuk keperluan aja. Dan hati-hati."

Baru sebulan lewat, ketakutan Ayah terjadi.

Maudy pasang badan sebagai perisai adiknya, menghadapi bentuk kekhawatiran orang tuanya dalam tema 'teguran'. Sesayang apapun mereka, tentu ada ketegasan didalamnya.

Esoknya mereka baru diperbolehkan melihat kondisi Maurin. Itupun setelah perjanjian untuk tidak marah karena Maudy sudah terima teguran semalaman. Iya, Maudy yang mengajukan perjanjian — sekaligus melarang Ayah Bunda sebelumnya.
Maurin hanya menangis, menyesalkan keras kepala-nya pada Ayah dan Bunda.

Selama Maurin sakit, Maudy yang mengurus adiknya itu. Dibantu Bunda meski tidak banyak karena keterbatasan gerak, juga Bu Rita yang berkunjung usai dengar kabar. Ayah masih harus bekerja sampai batas natal. Harry paling banyak membantu meski tanpa dimintai tolong Bunda dan ibunya.

Seperti sekarang, pria itu tengah menyuapi Maurin. Maudy diam di meja belajar Maurin sambil main ponsel. Kalau ada Harry, eksistensi Maudy jadi tersisihkan.

"Untung sekarang lagi libur sekolah, coba kalau masuk," ujar Maurin ketika berkaca pada fitur kamera di ponsel, menelisik luka di wajahnya.

Harry mendengus samar, ambil sesendok nasi lalu menyuap ke Maurin.
"Iya, untung. Anak sekolah gabakal liat muka jelek Olin," sahutnya malas.

Mimik wajah Maurin cepat mengerut tak terima, belum bisa membalas perkataan karena sibuk mengunyah. Harry acuh, Maudy tak sengaja memperhatikan keduanya.

"Ih abang, ga gitu tau! Ini kan Olin susah jalan, makanya untung pas lagi liburan. Jadinya kan Olin gaperlu absen," kelit Maurin.

"Ya, untung. Sampe susah jalan gini masih untung buat Olin. Terus, rugi nya kalau gimana?" balas Harry, memberi sesendok lagi.

Maurin sempat tak terima, tapi Harry melotot yang bikin dia mau tak mau menyuap.

"Abang ga suka Olin bilang untung setelah ngalamin kondisi begini. Liat kaki Olin, muka Olin, yang mana bagian untungnya?" lanjut Harry, tanpa bentakan namun tegas.

Suapan selanjutnya, Maurin lekas menutup mulut. Harry melotot lagi, tapi Maurin tak menyingkirkan tangannya.
"Olin pasti jelek banget ya gara-gara luka nya? Abang jangan marah," cicitnya, lalu menunduk.

Harry menghela nafas, menyingkirkan perlahan tangan Maurin, "Abang gak marah kok. Yang udah cantik, mau gimana aja tetep cantik. Sekarang aaaa."

Refleks Maudy bergidik. Selama 4 hari mengurus Maurin, Maudy jadi lihat langsung perubahan sikap 'ekstrem' Harry. Terutama sikap menggelikannya. Biasanya lihat dari jauh dengan random cewek, tanpa terdengar.

Sekarang terpaksa disini. Mana bisa ia meninggalkan mereka berdua dikamar?

"Ini emang harus disuapin gini bang? Kak Ody, emang tangan Olin separah itu?"

Merasa akhirnya keberadaannya di notice, Maudy lantas mencibir, "Abang Olin aja yang terlalu lebay."

"Kenapa jadi nanya kak Ody?" dengus Harry samar.

"Kan kak Ody dokternya Olin," balas Maurin, terkikik. "Huuu Abang lebay."

"Biarin, yang penting sayang Olin," katanya berbisik.

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now