|| Untold Story

491 92 627
                                    

TADAAAAAA~ TADAIMA✨ *eh
Aku nyapa di awal hehe, akhirnya yah( ꈍ ꈍ)

So, HERE WE GO! BACK TO PAST~

\
\

"Bang, Ari ga ngerti tau."

"Ga ngerti apaan?"

"Kenapa dia gamau main sama orang-orang di dekat dia padahal maksudnya baik?"

Herdi melirik arah pandang bocah 11 tahun itu yang sejak tadi menonton kartun spons cuci piring.
"Squidward maksudnya?"

Jeda sejenak, baru dibalas. "Iya juga ya, dia kayak Squidward. Nyebelin, songong, angkuh, aneh. Kasihan Olin, punya kakak jahat, masa sama adiknya sendiri gamau main. Ari juga males lama-lama ngajak main. Kenapa juga ibu sama Tante Indi minta Ari temenan sama dia, kan anaknya sendiri gamau berteman."

Barulah Herdi paham sosok yang dibicarakan adiknya itu.

"Ari nyerah aja lah," lanjut Harry.

Remaja 18 tahun itu kembali menulis.
"Ari kalah berarti sama Spongebob. Spongebob aja ga terlalu pintar, temannya juga banyak, tapi dia ga nyerah ngajak Squidward main. Akhirnya apa? Squidward ikut bantu kan nolong Spongebob pas di tahan di Atlantic City sama raja Poseidon?"

"Kok jadi kesitu?" balas Harry, sedikit tak terima karena penuturan 'kalah' itu.

"Berteman bukan cuma perkara main. Saling peduli juga bisa disebut teman. Taruh Ari yang kayak Spongebob selalu ngajakin Squidward berteman, siapa tau suatu hari Ody bisa kayak Squidward yang bantu Ari kalau lagi susah."

Lalu Herdi menambahkan. "Sekarang, Ody belum bisa begitu karena masih ngerasa sedih. Anggap sama kayak Ari yang rusuh kalau lagi nonton Spongebob terus diganti, atau pernah sampai ngamuk karena sepedanya mau dijual. Bedanya, Ody ga ekspresiin itu kayak Ari."

Harry berpikir sejenak. "Masa lama banget, udah lewat setahun juga. Bosen lah ngadepin tingkah dia. Diam terus, dicuekin, ngusir — padahal Ari ngajaknya baik-baik."

"Yakin baik-baik?"

Harry berdeham. "Yah, awalnya baik-baik. Tapi dia diam aja. Pas udah diisengin, baru keluar suaranya. Yaudah, begitu."

"Sampai bikin nangis juga?" sarkas Herdi jahil, mengekeh saat Harry memalingkan wajah.

Bocah itu tidak suka mengakui dirinya kekanakan karena usil sampai bikin nangis gitu.

"Yaa, Ody mau nanggepin kalau lagi dijahilin. Padahal Ari ga bermaksud gitu. Makanya, jadi kesel sendiri Ari," dumalnya.
Kesal karena sikap dingin Maudy, kesal juga karena dirinya merasa buruk jadi Abang.
"Pindah rumah aja sampe segitunya."

Herdi menutup buku karena tugasnya selesai.
"Ody bukan Ari, yang kalau ngambek sampai ngamuk, rusuh, jadinya kemauan Ari dapat makanya ngambeknya cepet kelar. Ari juga bukan Ody yang keinginannya bertentangan sama yang terjadi. Kalau Ari mau sate, bisa beli. Ari mau pergi nonton bola, pasti pergi. Ari mau menang, harus menang. Ody gabisa gitu. Dia mau tetap tinggal ditempat lamanya, tapi itu ga terjadi. Orang tuanya udah keburu beli rumah disini."

"Mungkin kalau Ari sama Olin, ga akan begini. Itu karena karakter setiap orang beda-beda. Ody ga banyak mau dan nuntut kayak kalian, tapi dia gabisa dibawa ke hal yang ga dia mau. Dia cuma cukup sama satu yang udah dia senengin. Nanti Ari ngerti lah kalau udah gede," tutup Herdi.

"Ngerti kok! Ari kan udah gede," seru Harry, jelas membual. Raut wajahnya saja kelihatan bingung berpikir, bikin Herdi mengekeh melihatnya.

Yah, adiknya ini agak lucu sih. Dia bungsu, tapi menolak disikapi seperti anak terakhir. Malahan ingin seperti Abang, makanya senang berinteraksi dengan anak kecil tetangga sampai menjaganya.
Sayang sekali, Ibu tidak memiliki anak lagi. Beruntung tetangga baru dekat rumahnya memiliki anak dibawah usia Harry. Beruntung lagi, karena tetangga itu ternyata sahabat lama Ibu. Adiknya jadi lebih leluasa menjadi Abang pada dua gadis kecil itu.

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now