Epilog

778 92 296
                                    

Pukul 2 siang Honda Jazz hitam tersebut sudah memasuki wilayah Bogor. Hari ini perhelatan resepsi pernikahan Andre dan Delia, Maudy berniat pulang dulu awalnya sebelum datang kesana, tapi Riko baru saja menghubunginya minta dijemput di restoran miliknya. 

"Konyol. Bisa-bisanya ketiduran," respon Maudy. 

Alasan pria itu telat di hari penting begini, karena katanya semalaman bereksperimen membuat kue untuk hadiah pernikahan. Kuenya sudah diantar pagi tadi, dan dia malah ketiduran saat bersiap mandi. Sungguh konyol, kan?

Dan juga menjengkelkan. Padahal Maudy pikir dengan menjemputnya, mereka bisa bergantian menyetir karena Maudy pegal berkendara dari Bandung. Tapi Riko mantap menolak. Sial.

"Bukannya bagus? Emang lu sanggup datang sendirian ke nikahan bekas cowok tercinta?" cibir Riko. 

"Ah i see. Maybe lu sengaja ketiduran karena takut kena mental liat cinta pertama di ijab qabul lelaki lain, kan?"

"Aih shit!" Dan keduanya tergelak. Begitu saja obrolan random mengalir, saling bercanda dengan dalih mencibir, berbagi kabar dan pikiran — interaksi yang terkesan akrab, dan perdananya terjadi. Ah, mungkin mereka memang lebih cocok berteman.

"Terus abis ini, mau rencana kerja di kota mana lagi?" tanya Riko setelah tahu Maudy resign karena masa kontraknya habis. Itu mengapa gadis ini ke Bogor bawa mobil sendiri, karena sudah tidak tinggal disana.

"Seakan gua selalu punya rencana aja soal kerja."

"Bener juga. Rencana lu mah tentang dia mulu."

Seketika Maudy kalut, walau paham perkataan Riko tak bermaksud apa-apa. Sekedar informasi, Harry masih di Tangerang, masih belum ada tanda akan pulang. Tapi kalut Maudy bukan hanya soal itu, melainkan Riko juga.

Mustahil Maudy tak punya rasa bersalah. Riko mungkin kasar dan menyebalkan, tapi dia tak pernah jahat padanya. Malah sungguhan menjaga, memberi perhatian meski dalam bentuk yang bikin salah paham. Justru, Maudy yang jahat, egois mementingkan Harry selagi Riko membuang waktu untuknya hingga tak sempat mencari tambatan hati.

"Jadi gimana sama Harry?"

"Biasa aja. Chatan. Telepon, kalau perlu." Tanpa sadar Maudy lesu. Untung ia belum memberi tahu soal Harry ke orang rumah, jadi tak ada yang kepikiran berharap akan kedatangan Harry, seperti dirinya.

"Udah pacaran?" tanya Riko lagi, dan Maudy memandang sekilas untuk menggeleng.

"Tch, entah apa yang si tolol itu pikirin." Riko berdecih samar, kemudian menyeringai jenaka. "Tapi lu gokil ya, sabar banget. Bisa tahan bertahun-tahun pacaran sama troublemaker. Sekarang tahan 3 bulan digantungin troublemaker lain. Haha."

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Maudy tidak merespon sesuai alur candaan Riko.
"Gua mikir.. Misal gak lebih dulu jatuh di perasaan itu, mungkin gua ga masalah buat suka sama lu kak." Gadis itu menjeda. "Maaf, dan makasih. Gua ingat belum pernah bilang itu."

Gantian Riko memandang Maudy, agak terperangah. "Aneh banget kalau lu jadi manis gini." Kemudian entah kenapa lepas setbealt, lalu menjangkau kepala Maudy untuk diusap.
"Bagus lu ga suka, jadi gua ga kebeban apa-apa. Tapi kalau emang ada kehidupan selanjutnya, gua juga ga masalah dikasih kisah cinta sama lu."

Maudy tersenyum getir. "I wish with all my heart, you will find the best soulmate."

"Anjir, kenapa jadi serius gini? Merinding gua lu terang-terangan care gini." Riko bergidik.

"Semoga aja gua bisa bantu lu nemuin cewek itu."

"Apaan sih.." Karena bergidik, Riko jadi berniat jahil agar kembalikan suasana canda. "Daripada ngurus gua, mending lu pikirin Harry. Jangan-jangan dia berat ninggalin Tangerang karena ada pacar disana."

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now