[Chapter 36] || Derita

438 112 591
                                    

"Nih!"

Atensi Maudy teralih ketika sosok yang ditunggunya bersiap duduk di sebelahnya, menyodorkan sekotak mika nasi goreng.

"Gua ga minta," celetuk Maudy.

"Gua inisiatif," balas Elina, ambil tangan Maudy untuk terima makanannya. "Pura-pura baik juga butuh energi."

Maudy mendengus kecil. Hhh, expert liar apanya, Elina bahkan bisa menebak kondisinya meski ia sudah bersikap seperti biasa. Ya, pura-pura biasa sih.
"Keliatan emang?"

"Gua cewek kali Mod. Paham kali kalau tiba-tiba off hape habis ngadepin masalah. Kak Andre sampe nanyain lu ke gua pas balik camping."

Sepertinya yang Elina maksud beda persepsi dengan yang Maudy kira.

"Apalagi, lu pake kacamata. Duduk gua terlalu dekat buat ga nyadarin mata bengep lu pagi tadi," lanjutnya. Elina mengira Maudy begini karena keributan Riko dan Andre saat camping.

Senyum Maudy terulas tipis. Bahkan presensi masalah itu mungkin terlupakan olehnya.

Keduanya berada di taman belakang, jam istirahat. Maudy mencari ketenangan dengan pohon, tanaman serta hawa sejuk disini. Parah sekali malamnya tadi, otaknya kacau memutar banyak hal tiap terpejam. Ditambah air mata turun tanpa perintah di sela usaha tidurnya. Jadi mata Maudy bengkak, makanya berangkat sekolah pakai kacamata.

"Makan Mod, lemes banget lu keliatannya," ujar Elina. Diangguki kecil oleh Maudy, tapi tak melirik sama sekali nasi gorengnya.

"El, menurut lu, Bunda gua orangnya gimana?"

"Kenapa tiba-tiba," gumam Elina heran. Berhubung anaknya positif, jadi dia tak menaruh curiga. "Baik banget, perhatian, penyayang. Pertama gua ketemu Bunda lu aja, dia sebaik dan setulus itu memperlakukan gua. Ga ngerti gua gimana orang selembut dan seramah itu malah punya anak papan triplek kayak lu. Datar banget."

Nyeleneh. Tapi anggap saja itu secuil usaha Elina untuk menghibur Maudy. Sayangnya Maudy tidak bereaksi sesuai ekspetasi.

"Bunda gua ada buriknya," tutur Maudy asal.

"Halah, gua bahkan ragu dia bisa tega nepok nyamuk yang nyolong darah dia, saking lemah-lembutnya."

"Gitu-gitu dia bisa marah. Gua pernah dimarahin."

"Sampe naik tiga oktaf ga suaranya? Ibu gua aja kalau udah bangunin pagi santai, tapi nyaring."

Tidak Maudy balas lagi. Benar kata Elina, semarahnya Bunda, beliau tidak pernah menaikkan suara. Kehidupan Maudy sungguh dibuat tenang dan nyaman, tanpa pertengkaran juga kemarahan. Gimana cara Maudy percaya kalau Bunda bersalah? Wanita itu bahkan selalu sabar menghadapi dirinya saat masa berontak pasca pindah dulu.

Lalu Harry, mungkin benar dia menderita sejak lama — karena Maudy sadar ternyata selama ini ia memperhatikan pria itu makanya memandang Harry berbeda dengan orang-orang yang menganggapnya anak baik.
Tapi kenapa, tiba-tiba dia menunjukkan dendam pada Maudy padahal selama ini disembunyikan dengan topeng baik-baik saja?

"Kenapa dia begitu coba?" gumam Maudy tanpa sadar.

"Siapa? Bunda lu?"

Mungkin bungkamnya Harry selama ini karena tidak mau ibunya hancur, jadi mengorbankan diri untuk rusak dalam penderitaan. Sesaat Maudy egois membenarkan kebungkaman itu — karena menolak juga keluarganya hancur.

Dan sekali lagi ingin egois, tidak mau berbagi beban penderitaan dengan Harry. Begini saja sudah menderita, malah ingin dijatuhi dendam tak masuk akal pula! Apa-apaan, memangnya Maudy tidak hancur jika kebenaran foto itu jelas adanya? Harry bahkan belum membuktikan asumsinya itu, sial sekali malah meneror Maudy dengan ancaman.

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now